Metode Penafsiran Mahmud Ayyub

-->
           Al-Qur’an memang merupakan kitab yang begitu agung yang di dalamnya tersimpan sejuta makna. Al-Qur’an ialah kitab yang berfungsi sebagai petunjuk. Dalam upaya untuk menangkap makna yang terkandung di dalamnya merupakan suatu keniscayaan bila al-Qur’an ditafsirkan. Dari masa ke masa melewati rentang waktu yang panjang pun penafsiran akan selalu dilakukan.
            Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam proses penafsiran ialah metodologi tafsir yang digunakan oleh seorang mufassir. Studi terhadap Al-Qur’an dan metodologi tafsir sebenarnya selalu mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia, sejak turunnya Al-Qur’an hingga sekarang. Fenomena tersebut merupakan konskuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk mendialogkan sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks (waqa’i) yang tak terbatas.[1] Oleh karena itu, untuk mendapatkan penafsiran yang sesuai dengan tuntutan era kontemporer muncullah berbagai metodologi baru.
            Mengenai metodologi penafsiran Mahmud Ayub yang termanifestasi dalam buah tangannya The Qur’an and its Interpreters (Qur’an dan Para Penafsirnya) ialah metode tafsir muqaran. Secara etimologi tafsir muqaran berarti tafsir perbandingan. Secara terminologi sebagaimana yang dikemukakan al-Farmawi adalah menafsirkan sekelompok ayat Al-Qur’an atau surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.[2]
            Berdasarkan pengertian di atas, maka tafsir muqaran memiliki cakupan, yaitu ; membandingkan antara ayat dengan ayat lainnya, membandingkan ayat Al-Qur’an dengan matan hadis, dan membandingkan pendapat mufasir dengan mufasir lainnya. Adapun tujuan penafsiran dengan metode ini untuk membuktikan bahwa antara ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya, dan antara ayat Al-Qur’an dan matan hadis tidak saling bertentangan.[3]
            Dalam karya besarnya The Qur’an and its Interpreters Mahmud Ayyub mengawali langkah metode penafsiran muqarannya dengan secara berhati-hati memilih sumber-sumbernya, agar dapat mewakili sejarah penafsiran Al-Qur’an yang begitu panjang dan rumit. Menilik sekilas sejarah tafsir, dengan berjalannya waktu karya tafsir mulai tercermin pada pelajaran, aliran agama, dan minat atau kecenderungan para penulis. Para ahli bahasa, hakim, mistikus, filosof, dan ahli teologi mulai menuliskan komentar-komentar yang menggambarkan pandangan mereka. Sehingga, sumber-sumber yang dipilih mewakili tahap-tahap yang berbeda itu. Selain itu juga melibatkan mazhab-mazhab pemikiran dan pendekatan dalam sejarah Islam, seperti tafsir Mu’tazili, Syi’i, tafsir menurut riwayat, tafsir hukum, mistik, filsafat, dan lain sebagainya.[4]
            Diantara sumber-sumber yang mewakili sejarah penafsiran Al-Qur’an yang begitu panjang tersebut yang digunakan dalam karyanya yaitu, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayat Al-Qur’an (tafsir ath-Thabari), Tafsir Al- Qur’ani Al-‘Adzim (tafsir ibn Katsir), Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (tafsir al-Qurthubi), Al-Kasyaf ‘an Haqaiq Al-Tanzil wa ‘Uyuni Al-Aqawil fi Wujuh Al-Ta’wil (tafsir az-Zamakhsyari), Mafatih Al-Ghaib (tafsir al-Razi), dan masih banyak lagi yang lainnya.
            Kemudian setelah memaparkan pandangan para mufasir atas penafsiran suatu ayat, Mahmud Ayub juga memberikan komentar. Komentar beliau atas suatu ayat atau kalimat dimulai dengan kejadian-kejadian atau sebab-sebab diturunkannya, karena pengetahuan itu perlu untuk pemahamannya. Sehingga, dalam metode muqarannya terlebih dahulu beliau menggunakan pandangan Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi dalam karya monumentalnya Asbab al-Nuzul Al-Qur’an. Pasalnya, kitab tersebut merupakan salah satu karya tertua yang membahas mengenai asbab al-nuzul.

Contoh Penafsiran Mahmud Ayub
            Pembahasan mengenai contoh kali ini –sebagaimana yang terdapat dalam karya Mahmud Ayub-- penulis akan mencoba mengambil penafsiran surat al-Fatihah ayat 2, yaitu :
Artinya : Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Menurut beliau para ahli tafsir tidak satu pendapat mengenai tempat dan waktu diturunkannya surah ini. Umumnya menyatakan Al-Fatihah turun di Makkah pada masa awal kenabian. Wahidi menuturkan, berdasarkan Ubay, ‘Ali, ibn ‘Abbas serta sahabat Nabi lainnya bahwa surat Al-Fatihah diturunkan di Makkah (Wahidi, h. 17; Thabari, 1, h. 107; Qurthubi 1, h. 115; Zamakhsyari, 1, h. 23). Para ahli lainnya mengatakan bahwa karena fatihah adalah do’a (shalat), ia tidak mungkin diturunkan di Madinah, karena hal itu akan berarti Nabi beserta para pengikut pertama tidak mempunyai do’a selama 12 tahun (Thabari, 1, h. 107; Qurthubi, 1, h. 115).[5]
            Selanjutnya, kata al-hamd (sanjungan) adalah ucapan puji syukur kepada Allah atas segala pemberian-Nya kepada dunia serta rahmat-Nya di hari kemudian. Rasul Allah mengatakan, “Ketika kau mengucapkan segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam; kau telah berterimakasih kepada-Nya dan Dia akan menambah berkat-Nya bagimu”. Rasul juga bersabda, “Tidak ada yang lebih menyenangkan Allah selain dipuji. Karena itulah Dia menyanjung Diri-Nya dengan mengatakan segala puji bagi Allah” (Thabari, 1, h. 136). Menurut Qurthubi, Allah SWT memuji Diri-Nya di Alam Azali demi keagungan berkat-Nya. Para Abdinya tidak mampu memberi pujian yang sesuai bagi-Nya, sehingga Allah perlu memuji Diri-Nya atas nama mereka. (Qurthubi, 1, h. 135).
            Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai arti kata ‘alamin. ‘Alamin adalah bentuk jama’ ‘alam. Kata itu mengacu kepada makhluk-makhluk berakal ataupun benda-benda lain yang diketahui. Qurthubi mengatakan, manusia dari segala umur adalah dunia (‘alam), sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an : “Akankah kalian datang kepada pria-pria dari ‘alamin?” (Q.S. 26: 165). Kemudian menurut al-Razi sudah terbukti bahwa diluar dunia ini , ada ruang yang tak terbatas. Juga telah terbukti bahwa Allah, Maha Besar, mampu membuat segalanya terjadi. Sehingga, Dia mencipatakan seribu dunia lain selain dunia ini, dan setiap dunia akan lebih besar dan luas dari dunia ini.[6]
Kesimpulan
            Bertitik tolak dari pemaparan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwasannya metode penafsiran Mahmud Ayub ialah metode muqaran yang bertitik tekan membandingkan pendapat mufasir dengan mufasir lainnya. Selain itu, dalam memberikan komentar terhadap pandangan para mufasir beliau lebih mendahulukan konsep asbab al-Nuzul  untukmemahami suatu ayat atau surat.


[1] Ed. Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer ; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. Ix.
[2] Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 322-323.
[3] Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan sir APengenalan Metodologi Tafsir, . . . . .hlm, 323.
[4] Mahmud Ayub, terj. Nick G. Dharma Putra, Al-Qur’an dan Para Penafsirnya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 7-8.
[5] Mahmud Ayub, terj. Nick G. Dharma Putra, Al-Qur’an dan Para Penafsirnya.. . hlm. 61.
[6] Mahmud Ayub, terj. Nick G. Dharma Putra, Al-Qur’an dan Para Penafsirnya.. . hlm. 70.

1 Komentar

  1. www(dot)updatebetting(dot)com
    [Sbobet / Live Casino / Ibcbet / Sabung Ayam / Togel / Fishing World / E-Games]

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak