TERM SUNNAH DAN HADIS DALAM PANDANGAN IGNAZ GOLDZIHER



A.    PENDAHULUAN
Perdebatan istilah hadis dan sunnah di kalangan ulama Islam tentunya bukan hal yang asing lagi. Ia menjadi titik tolak atau pondasi yang sangat signifikan, terutama dalam membangun ulu>m al-Hadi>s, khususnya dalam menguji otentisitas hadis yang mulai marak kembali dikaji oleh pihak barat yang khusus mengkaji ketimuran, oreintalisme.

Akan tetapi terjadi perdebatan ketika berbicara tentang siapakah diantara para oreintalis yang memulai penelitian hadis atau sunnah secara sistematis? Dalam catatan Musthafa A’dzami> yang dikutip oleh Musthafa Ya’qub, Ignaz Goldziher-lah yang pertama kali melakukan kajian hadis, dengan karya monumental Muhammaedanische Studien[1]. Namun hal tersebut dibantah oleh A.J. Wensick dengan tulisannya, “The Importance of Tradition for Study of Islam”, dalam The Moslem World II  (1921), yang menegaskan bahwa Snouck Horgronje-lah yang pertama mengkaji hadis, bukan Goldziher. Fakta ini – menurut Wenscink – bisa dlihat dalam Revue Coloniale Internatonale (1886) dan Revue de I’Histore des Religions (1886).[2] Catatan yang lain – yang ditunjukan oleh Kamaruddin Amin – berbicara lain, bahwa Alois Sprenger-lah yang pertama kali menganalisis otentisitas literatur hadis.[3]
Namun, disini penulis tidak membicarakan perbedaan tersebut, hanya ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa Goldziher dipandang orientalis sendiri sebagai orang yang pertama kali berhasil meletakan dasar skeptisisme[4] terhadap hadis, bahkan buku hasil pengkajiaannya telah menjadi ‘kitab suci’ bagi para orientalis sendiri.[5] Goldziher pun adalah orang yang pertama membawa hadis ke dalam sebuah kajian historis dan kritis yang sistematis.[6] Pernyataan senada pun dilontarkan oleh Herbert Berg dengan mengatakan bahwa Ignaz-lah yang pertama kali memperkenalkan teori inovatif terkait dengan otentisitas hadis.[7]
Lalu, hal yang sangat fundamental – dalam kajian hadis – sebelum masuk pada otentisitas hadis adalah perbedaan term’ antara sunnah dan hadis.[8] Maka, penulis dalam hal ini akan mengkonsentrasikan pembahasan Goldziher terkait diferensiasi definisi sunnah dan hadis, baik itu secara etimologis maupun terminologis. Makalah singkat ini diharapkan mampu membongkar skeptisisme Goldziher yang sering dikaitkan dan disandarkan padanya.

B.   BIOGRAFI SINGKAT IGNAZ GOLDZIHER
Goldziher, seorang keturunan Yahudi yang lahir di Szekesfehervar, Hongaria, [9]pada tanggal 22 Juni 1850 – dengan nama asli Yitzhaq Yehuda –,ini  pada umur dua belas tahun sudah menulis suatu riasalah mengenai asal-usul waktu yang tepat bagi sembahyang orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts. Pada usia enam belas tahun, dia mengikuti kuliah di Universitas Budapest.[10] Dua tahun kemudian, ia lulus dari ujiannya di Calvinist Liceum Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin tahun 1868, dengan H.L Fielscher dan G. Ebers di Leipzig pada tahun yang sama. Di bawah bimbingan Rodiger dia berhasil memperoleh gelar Doktor dalam usia 19 tahun.[11]
Goldziher bukan hanya menguasai bahasa Ibrani, Hebrew, tetapi ia pun ahli dalam bahasa Semit. Hal ini bisa dilihat dari fakta sejarah bahwa pada tahun 1904 ia mejadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest. Pada tahun yang sama ia pun dianugrahi gelar Doktor dalam bidang Kesusatstraan oleh Universitas Cambridge dan Gelar LL.L dari Universitas Aberdeen Skotalandia.  Sedangkan sebelumnya, pada tahun 1900 ia mengajar Filsafat Yahudi di Jewish Seminary Budapest.
Adapun karya monumentalnya dalam studi Islam adalah Muhammedansiche Studien diterbitkan pada tahun 1890, yang secara umum membahas sejarah agama Islam secara umum dan khususnya tentang hadits. Adapun karya-karya lainnya mengenai studi Islam mencakup Die Zahiriten, Ihr Lhrsystem und Geschicte (Leipzig 1884) membahas perkembangan sejarah aliran Zahiriyyah[12], Vorlesungen űber den Islam[13] (Heideberg 1910) merupakan pengantar untuk memahami teologi dan hukum Islam, dan Madza>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>,[14] yang membahas historisitas perkembangan penafsiran al-Qur’a>n, Zur Literargeschicte der Shi’a (1874). Bukan hanya Islam secara khusus, Goldziher pun mencoba menelaah ketimuran yang terakit dengan Arab secara umum; Beiträge zur Geschichte der Sprachgelehrsamkeit bei den Arabern (Vienna, 1871–1873) dan Abhandlungen zur arabischen Philologie (Leiden, 1896-1899). Adapun karyanya yang terkait dengan Bahasa Ibrani hanya satu, Der mythos bei den Hebräern und Seine Geschichtliche Entwickelung[15] (Leipzig, 1876).[16] Lalu, jika dilihat secara periodik karya Goldziher, maka dapat disimpulkan bahwa concern Goldziher terhadap Islam secara khusus terjadi di akhir-akhir karyanya. Hal ini menunjukan bahwa pada awalnya, kajian keislaman bukan merupakan studi utama yang dan pertama kali ia geluti.
Ia meninggal pada usia 71, tepatnya pada tanggal 13 November 1921. Dengan karya monumentalnya terhadap Islam, maka ia dipertimbangkan sebagai Founder dalam Islamic Studies di Eropa bersama Theodore Noldeke dan Christiaan Snouk Hurgronje.

C.   DIFERENSIASI SUNNAH DAN  HADIS MENURUT GOLDZIHER
Dalam diskursus Islam, diferensiasi sunnah dan hadis pada dasarnya mendapat perhatian dan porsi khusus, terutama sebelum mengkaji ulu>m al-Hadi>s secara lebih luas. Fakta ini tentunya membuktikan bahwa ada perbedaan yang harus dijelaskan terlebih dahulu diantara keduanya, sunnah dan hadis. Namun ternyata ternyata para orientalis pun melakukan hal yang sama, mereka menganggap – walaupun secara implisit – bahwa diferensiasi ini sungguh sangat penting dalam pembahasan hadis, khususnya yang membahas hadis secara intensif, tak terkecuali Goldziher.[17] Bukan hanya karena definisi masing-masing tetapi kedua kata itulah yang akan menentukan langkah selanjutnya dalam penelitian, salah satunya otentisitas hadis. Karena tentunya, seseorang harus menunjukan particulary object yang ia maksud, apakah itu hadis atau sunnah yang ia maksud dalam penelitiannya.

1.    Hadis Menurut Goldziher
a.    Perdebatan makna hadis secara etimologis
Kata hadis didefinisikan oleh para ulama dengan makna yang berbeda. Setidaknya ada dua golongan ulama yang mendefinisikan kata ini dengan makna yang berbeda. Pertama, para ulama yang mengartikan kata ini sebagai suatu komunikasi atau pembicaraan. Hal ini sebagaimana didefinisikan oleh Shubhi Sha>lih – dengan mengutip tinjaun Abdul Baqa>’ – bahwa hadis adalah isim dari tahdi>ts yang berarti pembicaraan.[18] Arti ‘pembicaraan’ ini telah dikenal oleh masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah sejak mereka menyatakan “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan aha>dits (buah pembicaraan).[19] Al-Farra> telah memahami arti ini ketika berpendapat bahwa mufrad kata aha>dits adalah uhudutsah (buah pembicaraan). Lalu kata aha>dits itu dijadikan jamak dari kata hadis.[20]
Kedua, para ulama mendefinisikan kata hadis sebagai sabagai suatu yang baru, jadi>d, yang dekat, qari>b, dan warta, khabar[21] atau “kaun al-Syai ba’da in lam yakun”  (adanya sesuatu setelah tidak adanya),[22] yang merupakan naqi>dl dari qadi>m.[23] Adapun yang dimaksudkan dengan baru adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, sedangkan yang qadi>m adalah Kitab Allah. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Hajr al-‘Asqala>ni> bahwa yang dimaksud dengan hadis menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw, dan hal itu seakan-akan dimaksudkan sebagai bandingan al-Qur’an yang qadi>m.
Posisi Goldziher, pada konteks ini, berada di posisi keduanya, walaupun nanti ada perbedaan. Pertama-tama Goldziher menguraikan makna hadis secara terminologis yang ia sebut sebagai sebuah kisah, komunikasi, yang tidak hanya berlaku diantara orang-orang yang menyebut kehidupan agama sebagai hadis, tetapi yang dimaksud adalah infromasi historis, baik itu yang bersifat secular atau keagamaan, baik itu terjadi pada waktu yang telah lalu ataupun pada masa tertentu.[24] Selanjutnya ia menjelaskan bahwa pada konteks sebuah legenda dan dongeng, kata ‘hadis’ juga diaplikasikan untuk subjek sebuah cerita. Oleh sebab itu pernyataan “menjadi suatu hadis” adalah menjadi contoh yang akan selalu diceritakan oleh generasi kemudian, dan yang akan menjadi ma>sha>l bagi anak cucu.[25] Pada definisi awal ini terlihat bahwa dia nampak ingin memperluas wilayah komunikasi dan cakupan hadis atau mengembalikan makna itu pada – meminjam istilah al-Ghazali[26]ma’na wadl’iyyah-nya. Ia tidak ingin terlebih dahulu menghubungkannya dengan aspek keagamaan yang walaupun akhirnya pada konteks keislaman disandingkan pada aspek ini. Dalam hal ini dia seolah ingin mencari akar kata hadis sendiri yang sudah ter’lembaga’kan oleh suatu aspek, yaitu keagamaan. Maka tak salah jika Goldziher mengatakan bahwa hadis sudah mengalami pergeseran konteks makna kata.[27]
Jika dilihat dari posisi ini, Goldziher masuk pada kategori pertama. Akan tetapi jika melihat lebih ke dalam pembahasan makna kata hadis – yang meloncat sekitar 10 halaman – ia pun menyinggung kata ahdatsa. Menurutnya kata ini adalah istilah yang biasa dipakai pada periode awal Islam untuk memperkenalkan sebuah inovasi yang tidak didasari kebiasaan masa lalu, yaitu masa patriarkhi.[28] Dia menyandarkan pendapat ini pada riwayat ‘A<isyah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Man ahdatsa fi> amrina> ha>dza> ma> laysa minhu fahuwa riddun”.[29]  Maka dia pun menganggap bahwa pernyataan syarr al-Umu>r muhdatsa>tuha> adalah merupakan sebuah inovasi atau dengan kata lain bid’ah yang memang dilarang dalam koridor Islam.
Pernyataan ini dipertegas oleh Goldziher bahwa sinonim dari kata al-Bid’ah adalah muhdats atau hadath[30], yang menurutnya para ulama Islam memahaminya sebagai sesuatu yang dipraktekan yang tidak mempunyai relevansi dengan zaman dulu, yang dalam agama, dimaksudkan sebagai perilaku yang tidak dilakukan pada masa nabi – selama inovasi itu tidak memiliki dasar keagamaan.[31]
Dalam hal ini Goldziher melakukan suatu perbedaan yang jelas, yaitu bagaimana ia membedakan kata hadis yang berasal dari kata hadatha dengan kata yang merupakan keturunan dari kata ahdatsa. Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru dan telah terjadi dalam diskursus wacana Islam, tetap hanya sebagai ‘fakta’ bahwa ternyata kata muhdats itu mempunyai arti yang saling bertolak belakang dengan sunnah secara definitif. Padahal kata hadis itu dalam pandangan ulama Islam disamakan dengan sunnah. Artinya bahwa kata hadis disatu sisi ditarik pada ‘urf isti’ma>l yang positif dan dan muhdats atau ahdatha pada wilayah yang negatif.

b.    Makna hadis secara termilonogis
Fakta bahwa hadis disandarkan secara positif oleh umat Islam lebih lanjut oleh Goldziher ditekankan ketika membahas hadis secara terminologis, bahwa kata hadis yang dipakai oleh umat Islam sebagai otoritas keberagamaan umat Islam yang tertinggi dikontraskan dengan kitab Allah, yang merupakan ‘hadis’ paling indah dan sempurna.[32] Pernyataan hadis yang paling sempurna dan indah ini oleh Subhi Sha>lih diteliti ternyata banyak kitab Sunan yang mengungkapkan hal seperti itu, “Khair al-Hadi>ts Kitabulla>h wa khair al-Huda> huda> Muhammad”.[33] Disisi lain Goldziher pun ‘mengamini’ bahwa istilah ini diucapkan oleh Nabi sendiri, sebagaimana terdapat dalam suatu riwayat ketika Nabi ditanya oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah menanyakan kepada Rasulullah tentang siapa orang yang paling berbahagia pada hari kiamat. Rasululullah menjawab, “Saya telah mengharapkan, Abu Hurairah, bahwa engkaulah orang yang pertama menanyakan pada saya tentang pembicaraan, hadi>ts, ini, selama mengamati bagaimana keinginanmu untuk untuk bertanya tentang hadi>ts." [34]
Goldizher disisi lain percaya bahwa hadis-hadis ini – yang dibawa pada daerah-daerah yang ditaklukan – adalah sesuatu yang bersangkutan dengan keagamaan dan praktek yang sah dan dikembangkan dibawah bimbingan Nabi dan dihormati sebagai suatu norma untuk dunia Islam secara keseluruhan.[35] Namun, pada proses hadis, dia mengatakan bahwa pengetahuan yang paling dekat dengan banyaknya hadis membawanya pada sikap (dengan hati-hati) skpetis daripada sikap percaya atau optimis kepada bahan-bahan yang dibawa dan dikompilasikan secara hati-hati.[36] Maka wajar apabila Goldziher mengatakan bahwa ia tidak mungkin seoptimis atau sepercaya Dozy ketika berbicara tentang hadis, walaupun ia secara sadar mengetahui sejauh mana perkembangan hadis ini sebagai sebuah hasil dari perkembangan keagamaan, sejarah dan sosial Islam selama satu sampai dua abad.[37]
Pada titik inilah kemungkinan kata skeptisisme yang disandarkan pada Goldziher. Bahwa setelah melihat fakta adanya berbagai proses yang lama dan dengan munculnya hadis yang banyak, ia mulai bersikap ragu-ragu terhadap keotentikan hadis. Yang pada akhirnya, ia menyimpulkan bahwa hadis bukan sebuah dokumen sejarah masa pertumbuhan Islam, namun ia hanyalah sebuah refleksi dari sebuah kecenderungan yang muncul di sebuah komunitas selama perkembangan Islam.[38]
Hal ini senada dengan kritik Fuat Segzin terhadap Goldziher – sebagaimana dikutip oleh Kamaruddin – bahwa Goldziher tidak menerima sama sekali bahwa hadis nabi digunakan sebagai sebuah dokumentasi sejarah.[39] Namun tidak dengan serta merta Goldziher menafikan tentang sanad, yang menjadi penyambung secara lisan suatu matan yang disampaikan.

c.    Sanad dan Matan Hadis dalam pandangan Goldziher serta implikasinya
 Setelah menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan hadis, Goldziher melanjutkan pembahasan pada struktur yang ada pada hadis, yang menurutnya terbagi menjadi dua – sama dengan pembagian ulama Islam – sanad dan matan. Sanad yang dimaksud oleh adalah sebuah silsilah penyokong kebenaran, attestors, dari awal yang meriwayatkan sampai periwayat terakhir. Sedangkan matan itu adalah teks hadis. Secara sekilas pandangan ini sama dangan pandangan para ulama Islam. Namun disini Goldziher melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa matn sudah dipakai pada pra-Islam dan bukan asli berarti dari hadis, yang biasanya menunjukan tulisan teks, written text.[40]
Dia menyandarkan pendapat ini pada sebuah ungkapan perbandingan yang dikutip dari tulisan Labid dalam Mu’allaqa; wa jala> al-suyu>lu ‘an al-Thulu>li kaannaha> / zubrun tujiddu mutu>naha> aqla>muha[41] dan juga kalimat yang dikomentari oleh al-Ahways; dawa>risu ka al-‘Ayni fi> al-Mahraqi.[42] Hubungannya dengan matan, Goldziher menyatakan bahwa matan mendapatkan maknanya pada konteks ini, yaitu dua lafadz tadi yaitu al-‘Ain dan al-Mutu>n, yang bermakna ‘teks yang tertulis’. Pada waktu yang sama, ‘ayn adalah istilah lama untuk teks yang disampaikan secara lisan, atau mulut ke mulut.
Menurut Goldziher, pemilihan kata matan – walaupun dia mengakui belum mampu untuk menentukan kejadian awal kapan kata ini dipakai pertama kali – untuk menggambarkan sebuah teks hadis dalam perbedaan yang tidak sesuai pada dokumen hadis yang disampaikan oleh silsilah authorities, sanad, yang mungkin disadari untuk menyangkal sebuah asumsi yang mengatakan bahwa dalam pandangan Muslim hadis secara orisinil bukanlah sesuatu yang ditulis dan hanya terbatas pada tradisi lisan.[43] Pemahamannya ini berimplikasi pada pemahaman Goldziher terhadap penulisan hadis, yang menurutnya, merupakan metode pemeliharaan yang yang sudah sangat lama dan bahwa keengganan untuk memeliharanya dalam tulisan adalah melulu hasil dari kesadaran Muslim selanjutnya.[44]

2.    Sunnah Menurut Goldziher
Sunnah secara etimologis adalah al-Thari>qah[45] dan al-Lisa>n[46]. Ibn Mandzu>r mengatakan bahwa al-Sunnah adalah jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang dahulu dan menjadi jalur bagi orang-orang setelahnya, dan ditambahkan dalam Mukhta>r al-Shaha>h, baik itu bersifat terpuji ataupun tercela, sebagaimana dikatakan oleh al-Taha>nuwi>.[47] Muhammad Ajaj al-Kha>tib dalam hal ini mengutip sebuah syair dari Khalid bin Utbah al-Hudzaily, “Jangan kau cemaskan perjalanan yang kamu tempuh, yang pertama rela akan perjalanan adalah yang menempuhnya”.[48]
Adapun secara terminologis, A’dzami> dan al-Kha>tib membagi tiga kelompok dengan pandangan berbeda; Pertama, dalam padangan Muhadditsi>n, sunnah adalah apa-apa yang nampak pada Rasulullah, baik itu qaul, fi’l, taqri>r, atau shifah, baik itu sebelum menjadi nabi atau setelahnya, dan hal ini menurut A’dzami> sama dengan definisi hadis. Kedua, para Ushu>luyyi>n memandang sunnah hanya sebagai sesuatu yang disandarkan pada nabi an sich, dari perkataan, perbuatan dan taqri>r. Ketiga, pendapat para al-Fuqaha> yang menyatakan bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Nabi tetapi tidak masuk dalam wilayah fardl atau wajib.[49] Berbeda dengan A’dzami>, Fazlur Rahman, melihat sunnah sebagai sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi Muslim pada zaman lampau, dengan menafsirkan keteladanan Nabi bedasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi yang kontinu dan progresif.[50]
Goldziher pada pendifinisian sunnah tidak melihatnya secara etimologis. Namun ia lebih melihatnya dari persfektif historis. Yang dalam padangan Goldziher konsep sunnah berasal pengaruh dasar standar pembenahan sikap pada wilayah kehidupan invidual dan komunitas masyarakat arab yang semenjak kedatangan Islam sunnah kemudian mencakup tata cara hidup dan masyarakat yang hubungannya dengan kehidupan agama Islam.[51] Namun menurut Goldziher, umat Islam melakukan ‘penambahan cakupan sunnah’ bukan didasarkan atas sebuah kebutuhan, need. Namun karena hal ini sudah ada pada masa paganis, Arab Jahilliyah. Bagi umat Islam, sunnah adalah segala sesuatu yang menerangkan tentang tradisi-tradisi, adat dan kebiasaan Arab dari para pendahulu, yang akhirnya kata ini masih dipakai oleh komunitas Arab.[52]
Setelah menjalaskan bahwa sunnah ternyata mempunyai relevansi yang tidak terpisahkan dari masyarakat Arab Jahilliyah, paganis, Goldziher mencoba melihat definisi sunnah dari kacamata para sahabat,[53] yang menurut mereka adalah segala sesuatu yang ditunjukan dan dipraktekan pada masa Nabi dan para sahabat awal. Mereka pun mengatakan bahwa ketaatan kepada sunnah bagi Umat Islam sama hal nya dengan orang paganis Arab yang mengikuti sunnah para pendahulunya.[54] Maka pada intinya bahwa konsep sunnah dalam Islam merupakan sebuah pengulangan atau imitasi dari pandangan Arab kuno. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Musthafa A’dzami> bahwa Goldziher menyebust sunnah dengan istilah istilah animis, jahiliyyah, yang kemudian dipakai oleh orang-orang Islam.[55]
Jika dilihat secara historis menurut Goldziher, Madinah menjadi kota yang paling pertama menjaga hadis, sehingga muncullah istilah Da>r al-Sunnah. Kota inilah yang paling bersemangat membela sunnah Nabi sekaligus melarang sebuah pembaharuan. Alasan lain mengapa ‘istilah’ tersebut melakat pada kota ini tiada lain – menurut Goldziher adalah karena di kota inilah sunnah diregulasikan secara formal.[56] Pada perkembangannya, saat sunnah diabaikan di hampir seluruh dunia ‘luar’, kota Madinah menjadi penjaga utama dalam menjaga sunnah.[57]

3.    Diferensiasi Antara Hadis dan Sunnah Dalam Pandangan Goldziher
Hadis, yang dikatakan oleh Goldziher sebagai hasil refleksi dari sebuah kecenderungan yang muncul di sebuah komunitas selama perkembangan Islam dan menolak bahwa ia adalah dokumentasi sejarah, dan sunnah, yang menurut Goldziher mempunyai relevansinya dengan orang Arab paganis – atau dalam bahasa A’dzami> disebut sebagai – animis, harus dibedakan satu sama lainnya.
Walaupun memang beberapa usaha telah dilakukan untuk membedakan definisi diantara keduanya dan di pihak lain ada yang menyamakannya,[58] menurut Goldziher kedua-duanya berbeda, they are by no means the same. Hal ini bisa dlihat dari fakta sejarah perkembangan terminologi kedua kata tersebut[59], sebagaimana yang telah diulas pada pembahasa masing-masing istilah.
Perbedaannya adalah bahwa hadis sebuah bentuk komunikasi lisan yang turun temurun dari Nabi Muhammad saw, sedangkan sunna merupakan sesuatu yang berlaku atau dipakai oleh komunitas Muslim lama yang menunjukan pada aspek keagamaan dan sebuah bentuk hukum, tanpa memandang ada atau tidaknya tradisi lisan.[60] Sebuah norma – tutur Goldziher – yang mengandung hadis secara natural bisa disebut sunnah, tetapi belum tentu sunnah itu harus bersesuaian dengan hadis yang merupakan pendukung sunnah. Atau dengan kata lain sangat mungkin bahwa suatu konten hadis mungkin bertentangan dengan sunnah, yang Goldziher istilah dengan, jus consuetudinis, [61] yang menurut Wahyudin inilah perbedaan fundamental antara hadis dan sunnah yang diosodorkan oleh Goldziher. Ia pun mengatakan bahwa inilah yang menjadikan kerangka dasar pandangan Goldziher tentang otentisitas hadis.[62]
Namun jika memang bahwa hadis itu sunnah atau antara sebuah tradisi lisan dan tradisi atau suatu adat dalam bentuk perilaku bertentangan dengan, kenapa Goldziher mangatakan bahwa hadis adalah dokumentasi tentang sunnah.?[63] Jawaban ini sebenarnya telah dijelaskan olehnya secara implisit dengan pengakuannya terhadap muatan hadis, yaitu sanad dan matan. Goldziher menyatakan;
“Tindakan dan keputusan dipandang benar dan keabsahannya pun diterima apabila mata rantai perawian yang bisa dipertanggungjawabkan pada akhirnya bisa memberikan pengakuan bahwa semua itu memang sesuai dengan kehendak nabi saw. Pada kekuatan hadis yang seperti itulah kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam ibadah dan hukum diakui sebagai tata cara kaum mukminin Islam pertam yang dipandang berwenang, dan telah pula dipraktikan di bawah kesaksian Nabi pribadi. Pada kekuatan hadis seperti itulah kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam ibadah dan hukum diakusi sebagai tata cara kaum mukminin Islam yang pertama yang dipandang berwenang, dan telah pula dipraktikan di bahwa kesaksian Nabi pribadi.”[64]


D.  PENUTUP
‘Skeptisisme’ yang disandingkan pada diri Ignaz Goldziher ternyata bukan hanya istilah yang disandarkan padanya. Akan tetapi ia pun secara terang-terangan mengatakan bahwa ‘proses pengumpulan hadis’ ini telah membuatnya bersikap skeptis dan tidak seoptimis apa yang dipercayai oleh Doqy.  Maka, bisa dikatakn bahwa skeptisisme Goldziher lahir dalam setelah ia melakukan analisis terhadap proses hadis.
Adapun pandangannya terhadap hadis, ia menjabarkannya menjadi dua kategori. Pertama, Kategori pertama hadis yang itu merupakan sebuah bentuk ‘komunikasi’ atau pembicaraan yang secara wadl’iyyah tidak terikat pada aspek keagamaan apa pun. Sehingga menurutnya hadis yang didefinisikan oleh umat Islam tiada lain merupakan perubahan konteks makna kata hadis. Goldziher pun menekankan bahwa hadis bukanlah dokumentasi sejarah – sebagaimana dikatakan oleh Fuat Segzin – namun ia nampak sebagai sebuah refleksi umat Islam terhadap perkembangan keagaaman Islam. Akan tetapi ia tidak menafikan akan adanya matan dan sanad pada hadis, sebagai dua unsur yang tidak bisa dipisahkan dari hadis. Kedua, ia ‘membahas’ secara sempit bahwa ternyata kata ahdatsa itu bertendensi negatif dalam ‘urf isti’mal agama Islam yang berarti sebuah pembaharuan atau bid’ah – sebagaimana disinonimkan oleh Goldziher, yang dalam bentuk kata benda disebut muhdatsa>tun. Akan tetapi Goldziher dalam hal ini tidak mencampuradukkannya dengan pembahasan istilah hadis itu sendiri.
Sedangkan sunnah ia definisikan – menggunakan perspektif historis – sebagai sebuah pengulangan atau imitasi dari pandangan Arab kuno terhadap tradisi nenek moyang mereka yang kemudian diadopsi oleh Islam. Adapun perbedaan antara sunnah dan hadis – sebagaimana dikatakan oleh Goldziher - bahwa hadis pada dasrnya merupakan sebuah bentuk ‘komunikasi’ atau ‘pembicaraan’ yang disandarkan pada Rasulullah sedangkan sunnah hanya sebagai sebuah sikap aktual. Sehingga Goldziher mengatakan bahwa ada kemungkinan suatu konten hadis bertentangan dengan sunnah, begitu pun sebaliknya, terkadang dalam suatu norma tertentu hal itu mencakup sunnah, tetapi belum tentu ditemukan hadis yang akan menguatkan sunnah tersebut.

 Oleh : Aramdhan Kodrat Permana

[1] Ali Musthafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 8. Muhammadanische Studien ini akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh C.R. Barber dan S>.M. Stern dengan judul Muslim Studies dengan dua jilid (London: Ruskin House Musuem Street, 1971).
[2] Akh. Minhaji, “Hukum Islam di Mata Sarjana Barat: Kajian Bibliografi Terhadap Tesis Josep Schahct dan Beberapa Tanggapan Terhadapnya” dalam Islam dalam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk 70 Tahun Munawwar Sjadzali ed. Yudian (dkk.) (Yogyakarta: LPMI, 1995), hlm. 66.
[3] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta Selatan: Hikmah, 2009), hlm. 2.
[4] Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani yang skeptesthai yang bermakna to examine. Dalam ranah filsafat, ia merupakan sebuah doktrin yang menolak kemungkinan untuk mencapai sebuah pengetahuan yang sesuai dengan realita itu sendiri. "Skepticism." Microsoft [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.
[5] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 76.
[6] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, hlm. 2.
[7] Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Cornwall: Padstwom, 2000), hlm. 7.
[8] Fakta ini berangkat dari pernyataan Fazlur Rahman bahwa yang menyebabkan sarjana-sarnaja tersebut, Goldziher, Schahct, Margoliouth, dan Lamens, adalah karena mereka menemukan bahwa sebagian dari kandungan Sunnah merupakan kontinuasi langsung dari kebiasaan dan adat istiadat dari masa sebelum Islam. Untuk lebih lanjutnya, lihat Fazlur Rahman, Membukan Pintu Ijtihad terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 4. 
[9] Masyarakat asli Hongaria adalah 90 % suku Magyars . Adapun penduduk dari Roma, German, Slovakia, Romawi, Kroasia dan Serbia hanyalah minoritas. Fakta ini pun mempengaruhi bahasa di Hongaria. Lihat, Daniel N. Nelson, “Hungaria” dalam Microsoft Encarta 2009.  
[10] Budapest merupakan kota yang paling luas di Hungaria, sekligus Ibu Kotanya. Dari aspek keagaman secara menyeluruh, orang yang banyak menganut agama Yahudi ada di Budapest, sekitar 100.000 sampai 200.000. Daniel N. Nelson, “Hungaria” dalam Microsoft Encarta 2009. Fakta inilah yang kemungkinan mendorong Goldziher berkuliah di kota ini.
[11] Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: Macmilan Publishing Comapany, 1993) Vol. V dan VI, hlm. 74. Sebagaimana dikutip oleh Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Oreintalis, hlm. 91.
[12] Buku ini kemudian diterjemahkan oleh Wolfgang Behn dengan judul The Z}a>hiri>s: Their Doctrine and Their History A Contribution to The History of Islamic Theology  (Leiden: Brill, 2008).
[13] Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Penerjemahan Bahasa Inggris dilakukan oleh Andras dan Ruth Hamori dengan judul Introduction to Islamic Theology and Law, yang kemudian diterjemahkan oleh Hersri dengan judul Pengantar Teologi dan Hukum Islam (Jakarta: INIS, 1991). 
[14] Madzhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern merupakan terjemahan dari buku ini yang diprakarsai oleh M Alaika Salamullah (dkk.), (Yogyakarta: elSAQ Press) cetakan III.
[15] Satu tahun berikutnya, Buku ini diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Russell Martineau, Mythology Among The Hebrews and Its Historical Development (London: Longmas, 1877).
[16] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis, hlm. 92.
[17] Secara implisit disini adalah bahwa tulisan mereka memperlihatkan adanya kesamaan dengan tulisan ulama Islam dengan pertama-tama mengkaji secara definitif dua kata tersebut sebelum beranjak pada pembahasan selanjutnya. Misalnya Ignaz dalam Juz II, memulai pembicaraannya dengan perbedaan sunnah dan hadis baru kemudian dilihat implikasinya. Lihat, Ignaz Goldziher, Muslim Studies terj. Barber dan Stern (London: Ruskin House Musuem Street, 1971), hlm. 13-189.
[18] Shubhi Sha>lih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 21.
[19] Futu>h al-Bulda>n li al-Baladziri<, hlm. 39. Sebagaimana dikutip oleh Shubhi Sha>lih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 21.
[20] Shubhi Sha>lih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 21-22. Bandingkan dengan al-Qa<simi< al-Dimasyqi<, Qawa<id al-Tahdi<ts min Funu<n Mushtalah al-Hadi<ts (DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah), hlm. 20.
[21] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustakan Rizki Putra, 1999), hlm. 1.
[22] Musahadi Ham, Evolusi Konsep Sunnah; Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam (Semarang: IAIN Walisongo Press, 2000), hlm. 30.
[23] Al-Mandzu>r, Lisa>n al-‘Arab (Beiru>t: Da>r Masha>dir, tth), juz. 2, hlm. 131.
[24] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 18.
[25] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 18.
[26] Al-Ghaza>li>, al-Mustashfa> (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), hlm. 290.
[27] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 18.
[28] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 28.
[29] Goldziher pun menggunakan riwayat lain, man ‘amila amalan laysa alayhi amruna> fahuwa riddun.
[30] Dalam hal ini dia mengutip pernyataan al-Ya’qubi>, “ama>ta abu>ka al-Sunnata jahlan wa ahya> al-bid’a wa al-ahda>tha al-mudillata ‘amdan. Goldziher, Muslim Studies, hlm. 34.
[31] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 34.
[32] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 18.
[33] Suhbi Sha>lih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis...,hlm. 23. Pernyataan kebanyakan ini bukan berarti tidak ada dalam kitab shahi>han ataupun musnad. Nyatanya, hadis ini ada dalam kitab Shahi>h Muslim dalam al-Ba>b takhfi>f al-Shalah. Dalam kitab Musnad Ahamd pun hadis ini ada.  Adapun dalam kitab Sunan yang dimaksudkan oleh Subhi Sha>lih diantaranya; Sunan Ibn Ma>jah, Sunan al-Baihaqi>. 
[34] Bandingkan Goldziher, Muslim Studies, hlm. 18 dengan Suhbi Sha>lih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, hlm. 23.
[35] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 18
[36] Untuk menjaga objektivitas penerjemahan, penulis menghadirkan terjemahannya dalam bahasa inggris yang dijadikan kutipan, “Closer acquaintance with the vast stock of hadi>ths induces skeptical rather than optimistic trust regarding the material brought together in the carefully compiled collections.” Goldziher, Muslim Studies, hlm. 19.
[37] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 19.
[38]The hadi>th will not serve as a document for the history of the infancy of Islam, but rather as a reflection of the tendencies which appeared in the community during the mature stages of its development. Goldziher, Muslim Studies, hlm. 19.
[39] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, hlm. 120.
[40] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 19-20.
[41] وجلا السيول عن الطلول كأنها ... زبرٌ تجد متونها أقلامها Bait syair ini ternyata bukan hanya ada dalam Mu’allaqa, tetapi juga terdapat dalam berbagai kitab yang menuliskan syair-syair diantaranya; Abu Farj al-Ashbaha>ni>, al-Agha>ni>, juz. 4, hlm. 245, Abu Zaid al-Qursyiyi, Hamzah Asy’a>r al-‘Arab, juz. 1, hlm. 39, al-Ra>ghib al-Ashfaha>ni>, Muha>dlara>t al-Udaba>i, juz. 1, hlm. 31 dan 39, al-A<midi>, al-Muwa>zanah, juz. 1, hlm. 107. 
[42] دوارس كالعين في المهرق Potongan bait sya’ir ini juga dalam Farj al-Ashbaha>ni>, al-Agha>ni>, juz. 2, hlm. 373, 375 dan juz. 8, hlm. 194 dan 210.
[43] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 20-21.
[44] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 21.
[45] Fairuzaba>di>, al-Qamu>s al-Muhi>th, hlm. 1558 sebagaimana dikutip oleh Musthafa> al-A’dzami>, Dira>sa>t fi al-Hadi>ts al-Nabawi>; Ta>rikh Tadwi>nih (Beirut: al-Maktab al-Isla>miy, 1980), hlm. 1.
[46] Al-Mandzu>r, Lisa>n al-‘Arab...,hlm. dikutip oleh Musthafa> al-A’dzami>, Dira>sa>t fi al-Hadi>ts al-Nabawi>, hlm. 1.
[47] Musthafa> al-A’dzami>, Dira>sa>t fi al-Hadi>ts al-Nabawi>, hlm. 1.
[48] فلا تجز عن من سيرة أنت سرتها * فأول راض سنة من يسيرها
Muhammad Ajaj al-Kha>tib, Ushu>l al-Hadi>ts: Pokok Pokok Ilmu Hadits terj. Qodirun dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), hlm. 1.
[49] Bandingkan Musthafa> al-A’dzami>, Dira>sa>t fi al-Hadi>ts al-Nabawi>...,hlm. 1-2 dengan Muhammad Ajaj al-Kha>tib, Ushu>l al-Hadi>ts: Pokok Pokok Ilmu Hadits, hlm. 2.
[50] Fazlur Rahman, Membukan Pintu Ijtihada, hlm. 38.
[51] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 25.
[52] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.
[53] Sahabat menurut Goldziher adalah – mengutip pernyataan al-Bukha>ri> - adalah orang Islam yang telah menemani Nabi atau telah melihatnya dapat digolongkan sebagai sahabat. Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, hlm. 66.
[54] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.
[55] Musthafa> al-A’dzami>, Dira>sa>t fi al-Hadi>ts al-Nabawi>; Ta>rikh Tadwi>nih, hlm. 6.
[56] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26. Lihat juga Shubhi Sha>lih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis...,hlm. 24.
[57] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.
[58] Hal ini sebagaimana disampaikan oleh M Syhuhdi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 27.
[59] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.
[60] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.
[61] Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.
[62] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis, hlm. 94.
[63] Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam terj. Hersri (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 35.
[64] Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam terj. Andras dan Ruth Hamori (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 35.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak