Warga desa Bellavista di Lima, ibukota Peru yang berada di dataran
tinggi sering kekurangan air, ini terjadi karena air hujan jarang turun
di Lima dan kebutuhan air kota harus dipasok dari Danau Andes yang jauh.
Padahal sambungan air bersih tidak sampai ke desa, praktis warga desa harus mencukupi kebutuhan air untuk masak, mencuci dan minum dengan membeli air dari truk-truk tangki.
Untuk keluarga dengan empat orang anggota, biaya yang perlu dikeluarkan selama seminggu bisa mencapai $10, jumlah yang sangat besar mengingat rata-rata pendapatan warga Bellavista selama seminggu adalah $40.
Nah dari sinilah muncul ide untuk memanen air dari kabut, apalagi setiap Juni sampai November muncul kabut padat yang berasal dari Lautan Pasifik.
Untuk memanen air dari kabut ternyata tidak serumit yang dibayangkan, alat yang digunakan menyerupai sebuah jaring besar. Dengan tiang setinggi 4 meter dan lebar 8 meter, dan jaring yang terbuat dari anyaman plastik yang kemudian disambungkan ke pipa-pipa kecil.
Prinsip kerjanya adalah alat ini menangkap butiran-butiran air yang terkandung dalam kabut dan mengalirkan air tersebut ke tabung penyimpanan yang sudah disiapkan. Dalam satu hari penduduk bisa mengumpulkan 568 liter air, jumlah yang sangat besar bukan?
Dan ternyata yang cukup membanggakan adalah mahasiswa UGM juga mengembangkan alat ini untuk mengatasi kekeringan di kota Semarang, seperti dikutip dari Detik.
Menurut Aditya, teknologi pemanen kabut yang dikembangkan sangat sederhana. Hanya berbentuk jaring dari poliprofilen berbahan plastik yang ditopang dengan dua tiang penyangga.
Alat pemanen kabut ini bekerja secara manual sebagi penjerat atau penangkap kabut. Kabut di udara yang tertangkap jaring, kemudian dialirkan melalui paralon yang selanjutnya ditampung dalam jerigen.
Namun tentu saja yang patut di ingat adalah air hanya bisa dipanen dari kabut alami bukan kabut karena asap.
Padahal sambungan air bersih tidak sampai ke desa, praktis warga desa harus mencukupi kebutuhan air untuk masak, mencuci dan minum dengan membeli air dari truk-truk tangki.
Untuk keluarga dengan empat orang anggota, biaya yang perlu dikeluarkan selama seminggu bisa mencapai $10, jumlah yang sangat besar mengingat rata-rata pendapatan warga Bellavista selama seminggu adalah $40.
Nah dari sinilah muncul ide untuk memanen air dari kabut, apalagi setiap Juni sampai November muncul kabut padat yang berasal dari Lautan Pasifik.
Untuk memanen air dari kabut ternyata tidak serumit yang dibayangkan, alat yang digunakan menyerupai sebuah jaring besar. Dengan tiang setinggi 4 meter dan lebar 8 meter, dan jaring yang terbuat dari anyaman plastik yang kemudian disambungkan ke pipa-pipa kecil.
Warga mengangkut bahan bangunan ke tebing
untuk membangun tempat penyimpanan air.
Prinsip kerjanya adalah alat ini menangkap butiran-butiran air yang terkandung dalam kabut dan mengalirkan air tersebut ke tabung penyimpanan yang sudah disiapkan. Dalam satu hari penduduk bisa mengumpulkan 568 liter air, jumlah yang sangat besar bukan?
Di atas bukit juga ditanam beberapa pohon oak.
Menjahit jaring.
Contoh jaring.
Dan ternyata yang cukup membanggakan adalah mahasiswa UGM juga mengembangkan alat ini untuk mengatasi kekeringan di kota Semarang, seperti dikutip dari Detik.
Menurut Aditya, teknologi pemanen kabut yang dikembangkan sangat sederhana. Hanya berbentuk jaring dari poliprofilen berbahan plastik yang ditopang dengan dua tiang penyangga.
Alat pemanen kabut ini bekerja secara manual sebagi penjerat atau penangkap kabut. Kabut di udara yang tertangkap jaring, kemudian dialirkan melalui paralon yang selanjutnya ditampung dalam jerigen.
Namun tentu saja yang patut di ingat adalah air hanya bisa dipanen dari kabut alami bukan kabut karena asap.
sumber : apakabardunia
masyarakat yang kreatif sekali, karena kekurangannya pasokan air mereka mengumpulkan air dari kabut, mungkin seperti embun ya..
BalasHapus