Hadis Dalam Pandangan Thahir al-Jawabi


A.    Biografi Thāhir al-Jawābī
Nama lengkap beliau adalah Dr. Muhammad Thāhir al-Jawābī. Beliau  lahir di Qathufah, yaitu daerah yang terletak di wilayah Tathawin, Tunisia, pada tanggal 16 Nopember 1939. Beliau  mengawali belajarnya dengan  berkonsentrasi dalam dunia tulis menulis. Pada tahun 1957, ia melanjutkan belajarnya di Zaitun hingga selesai. Kemudian ia menyelesaikan kuliah di fakultas Ushuluddin pada tahun 1966, dan memperoleh sertifikat sebagai pakar penelitian ilmiah pada tahun 1975.  Ia memperoleh gelar doktoralnya pada tahun 1981 dan menjadi doktoral dalam bidang ilmu hadis pada tahun 1986. Dan pada tahun 1991 M/1411 H, ia mengajar ilmu hadis di Fakultas Syari’ah di Universitas al-Zaitun, Tunisia.[1]

Hanya sedikit data tentang pribadi  dan perjalanan hidup Thāhir al-Jawābī yang dapat pemakalah sajikan dalam makalah ini. Hal tersebut dikarenakan kurangnya refrensi yang mengupas tentang Thāhir al-Jawābī. Data yang penulis dapat hanya dari kitab karangan beliau sendiri yaitu Juhūd al- Muhadditsīn fi naqd matn al-Hadīts.
Adapun karya-karya al-Jawabi diantaranya;
1.      Juhūd al- Muhadditsīn fi naqd matn al-Hadīts al-Nabawy al-Syarīf
2.      Al-Jarh wa al-Ta’dil baina al-Mutasyaddidin wa al-Mutasahilin

B.     Seputar Kitab Juhūd al- Muhadditsīn fi naqd matn al-Hadīts
Kitab ini merupakan disertasi dari Thāhir al-Jawābī sendiri. Tujuannya adalah untuk menjelaskan usaha dalam menjaga matan hadis, memberikan kritik, menghilangkan keraguan kepada orang yang ragu terhadap hadis, menambah kuat pemakaian terhadap as-sunnah, dll.
Kitab ini dibagi atas 3 pembahasan
1.      Madaris al-Hadis
2.      Perkembangan kritik hadis, tingkatan, dan Imam-imam Hadis
3.      Kritik matan
Pada bagian pertama akan di jelaskan maksud dari al- madrasah al-hadītsiyyah, perkembangan hadis di berbagai negara, munculnya ulumul hadis, perkembangan dan pembukuannya untuk menetapkan pokok dirayat bagi riwayat sejak awal sejarahnya.[2] Kemudian setelah itu dijelaskan tentang munculnya kritik hadis, perkembangannya, tingkatannya, pengertian dari setiap tingkatan-tingkatan imam hadis baik sebelum pembukuan sunnah maupun setelahnya.
Kemudian menjelaskan tentang an-naqd al-ihtiāthī yang contohnya digunakan untuk meneliti rawi dan kaidah penulisan, riwayat dengan lafadz dan meringkas dengan makna, menisbatkan hadis kepada yang mengucapkan yaitu yang disebut dengan ar-raf’u dan al-waqfu. Dan pada akhir pembahasan, menjelaskan tentang an-naqd at-tathbiqī untuk matan hadis. Pembahasan ini dimulai dengan penafsiran kalimat-kalimat yang asing, menjaga kalimat yang benar jika terjadi kesalahan dan mencarinya di matan, meneliti permulaan dan akhirnya jika dihasilkan seperti itu.
Kemudian menjelaskan perbandingan muhadditsīn antara riwayat matan yang satu untuk meneliti  kesamaan dan perbedaannya, juga bisa diketahui matan yang mudharrib, yang ada tambahan, yang syadz, atau yang mungkar. Setelah itu membahas imam-imam yang melakukan kritik mukhtalif al-hadis, nasikh mansukh, dan menjelaskan metode mereka dalam menghadapi dua hadis yang bertentangan. Ada yang menggunakan al-jam’u, tarjih, naskh, dan pembahasan tentang musykil al-hadis serta bagaimana menolak kemusykilan tersebut dengan menjelaskan maknanya. Terakhir dalam pembahasan ini mencantumkan kemiripan-kemiripan yang ada dalam matan hadis yang kemudian ditolak dengan menjelaskan metode sahabat dan muhadditsīn setelahnya dalam kritik matan hadis dan menyebutkan barometer mereka dalam kritik matan tersebut.[3]

C.     Pandangan Thāhir al-Jawābī terhadap Hadīts
Dalam mengartikan hadis itu sendiri, pertama Thāhir al-Jawābī mengemukakan pengertian dari muhadditsīn yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat khuliqiyyah dan khalqiyyah atau sejarah beliau.
Baik semua itu terjadi sebelum beliau diutus menjadi nabi, seperti ketika beliau semedi di gua Hira, atau sesudah beliau diutus menjadi nabi.[4] Kemudian beliau mengemukakan pendapat Ushuliyyun, yang mengertikan hadis hanya terbatas pada perkataan, perbuatan, dan penetapan. Mereka tidak memasukkan sifat khalqiyyah dan juga sirah nabi. Tetapi Ushuliyyun tidak hanya menyandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. saja yang kemudian itu disebut sebagai hadis marfu’. Mereka juga menyandarkan kepada sahabat yang disebut hadis mauquf, dan menyandarkan kepada tabi’in, yang disebut hadis maqthu’.
Thāhir al-Jawābī tidak sependapat dengan  ushuliyyun yang berpendapat tentang keumuman tersebut, yaitu  menyandarkan hadis kepada sahabat dan tabi’in. Beliau hanya menyandarka hadis kepada Rasulullah SAW. Adapun yang pernah diucapkan sahabat ataupun perbuatan mereka itu hanya ijma’ mereka.
Sedangkan dalam mengartikan sunnah, Thāhir al-Jawābī mengemukakan pendapat muhadditsīn, ushūliyyīn, fuqahā, ulama aqīdah, dan penggunaannya dalam Islam. Muhadditsīn mengartikan sunnah sama dengan pengertian hadis. Adapun menurut ushulyyīn, sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW selain al-Qur’an, baik berupa perkataaan, perbuatan, ataupun penetapan yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara’. Di dalam sunnah juga sebagian masuk sunnah khulafaur rasyidin dan sunnah sahabat. Adapun menurut fuqaha’sunnah adalah jalan yang diikuti dalam agama tanpa adanya ikatan, dan tidak berhukum wajib. Kemudian menurut ulama aqidah, sunnah adalah semua yang disepakati oleh al-Qur’an, hadis, ijma’ umat-umat terdahulu, berupa aqidah-aqidah dan ibadah-ibadah. Sunnah ini juga menerima bid’ah. Sedangkan dalam penggunaan Islam, sunnah adalah sesuatu yang tercakup dalam syariah, yaitu al-Qur’an dan al-hadis, atau hukum-hukum yang digali dari keduanya.
Setelah mengungkapkan definisi hadis dan sunnah, Thāhir al-Jawābī mengemukakan perbedaan atara keduanya. Ini berdasarkan pendapat orang-orang yang menganggap antara hadis dan sunnah ada perbedaan. Perbedaan ini dimulai dengan perkataan Abdurrahman bin al-Mahdi” Sufyan ats-Tsauri adalah Imam di dalam hadis, tapi bukan merupakan Imam di dalam as-Sunnah. Dan al-Auza’i adalah Imam di dalam as-sunnah, tetapi bukan Imam di dalam hadis. Sedangkan Imam Malik adalah Imam keduanya.[5] Dan saya tidak melihat seseorang yang lebih alim dalam sunnah, tidak dalam hadis yang hadis itu masuk dalam sunnah melainkan  Hammād bin Zaid. Kemudian Ibnu ash-Shalah berpendapat bahwasannya sunnah adalah lawan dari bid’ah, seseorang bisa alim terhadap hadis, tetapi tidak alim terhadap sunnah.
Thāhir al-Jawābī melihat perbedaan antara keduanya pada ulama-ulama terdahulu. Tetapi untuk ulama-ulama sekarang ada yang membedakannya tanpa analisis, dan ada juga yang memberikan keterangan.
An-nadwi adalah salah satu ulama yang membedakan antara hadis dan sunnah. Hadis menurut beliau adalah setiap kejadian yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Walaupun hanya dilakukan satu kali dalam hidup beliau, atau kejadian itu di riwayatkan oleh satu orang. Hadis merupakan riwayat lafdziyyah dari ucapan, perbuatan dan ahwal Rasulullah SAW. Adapun sunnah adalah perbuatan yang dipindah secara mutawatir dari Nabi SAW. kemudian dari sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelahnya, walaupun tidak mutawatiir secara lafdzi. Sunnah adalah jalan yang mutawatir untuk menggunakan hadis dan al-Qur’an, karena sunnah merupakan tafsir amali dari dari al-Qur’an.
Pendapat an-Nadwi ini dibantah oleh Umar falatah. Ia berpendapat bahwasannya pengkhususan sunnah dengan amal yang dipindah secara mutawatir itu adalah istilah khusus. Adapun pengertian yang umum yang telah diketahui di kalangan ulama yaitu seperti yang diungkapkan oleh an-Nadwi itu tidak dapat diterima.
Thāhir al-Jawābī sendiri menyatakan bahwasannya  di kalangan muhadditsin itu menyamakan hadis dan sunnah. Adapun perbedaan antara hadis dan sunnah ada dalam pemaknaan Islam yang umum seperti yang dipaparkan sebelumnya. Sunnah dalam pemahaman ini mencakup hadis dan sebagainya, jadi lebih umum dari hadis. Tetapi menurut ushuliyin dan fuqaha’ lebih khusus dari hadis.
Thāhir al-Jawābī tidak setuju dengan pendapat an-nahdi yang mengatakan bahwasannya kebenyakan orag tidak membedakan antara hadis dan sunnah dan menyetarakan antara keduanya, dari situ akan timbul bahaya yang besar. Thāhir al-Jawābī tidak setuju karena tidak mengerti apa bahaya yang akan muncul tersebut. Dan andaikan yang dikatakan oleh an-nahdi itu benar, maka bahaya itu sudah terjadi di kalangan imam-imam terdahulu.  Dan juga tidak ada ulama setelah Abdurrahman bin al-Mahdi kecuali Ibn ash-Shalah yang membedakan antara keduanya. Kemudian diketahui juga pendapat Abdurrahman bin al-Mahdi yang mengatakan bahwasannya ats-Tsauri adalah Imam dalam sunnah dan hadis. Ini berbeda dengan pendapatnya yang pertama.[6]
Thāhir al-Jawābī pada akhirnya berkesimpulan bahwasannya pada pembahasan ini yaitu antara persamaan dan perbedaan hadis dan sunnah, beliau mengambil pendapat muhadditsin yang menyamakan antara keduanya.[7]

D.    Kritik Thāhir al-Jawābī terhadap Orientalis
Orientalis sejak dulu memang telah mempelajari studi Islam. Dengan mempelajari ilmu-ilmu tentang keislaman, mereka mencari celah untuk memecah belah umat Islam, melemahkan harga ilmu-ilmu keislaman, dan meremehkan metode umat Islam dalam ilmu-ilmu tersebut. Salah satu yang menjadi objek mereka adalah hadis Nabi yang menjadi pengaruh yang sangat besar bagi aktifitas Muslim, menjadi pedoman bagi umat Islam karena Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dan memang merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti hadis dan beramal sesuai tuntunannya. Orentalis sangat paham dengan hal tersebut, lalu mereka berusaha untuk melakukan taqluil ar-riwayah terhadap sunnah, melemahkan metode-metodenya untuk membuat ragu dalam menyampaikannya,
Orientalis memberi banyak pengaruh dalam penyerupaan terhadap sunnah, seperti melemahkan riwayat-riwayat, membatasi pemahaman terhadap sunnah, pandapat tentang zaman pengkodifikasian, metode kritik, dll.
Dan pada pembahasan kali ini akan menfokuskan terhadap penyerupaan mereka yang berhubungan dengan matan, yaitu sangkaan mereka bahwasannya kebanyakan sunnah itu palsu/ dibuat-buat, dan ahli hadis tidak melakukan kritik terhadap sunnah-sunnah yang palsu tersebut.
-          Penyerupaan sunnah palsu
Orientalis yahudi Julad Tasher adalah orang yang paling gencar menyebar luaskan penyerupaan ini dalam bukunya “ al-‘aqīdah wa asy-syarī’ah al-islamiyyah, dan Dirāsāt al-Islamiyyah.” [8] Dan kemudian penyerupaan ini di nuqil oleh Hasan Abdul Qadir dalam bukunya “ nadhrah ‘āmmah fī tārīkh al-fiqh al-islami”. Banyak juga ulama lain yang setuju dengan pendapat ini lalu menuqil dari kitab ini. Namun, as-Sibā’ī dalam kitabnya as-Sunnah wa makānatuhā fī at-tasyrī’ al-Islami menolak pendapat ini dengan penolakan ilmiyyah dan menjadi rujukan ulama setelahnya.
Julad Tasher menuduh bahwasannya sebagian besar hadis Nabi adalah hasil dari perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Dia berkata:” sesungguhnya sebagian besar hadis tidak lebih hanya sekedar hasil perkembangan agama, polotik, sosial kemasyarakatan Islam dalam abad kedua pertama dan kedua. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadis adalah produk yang sudah ada pada masa awal munculnya Islam adalah tidak benar. Yang benar adalah hadis merupakan produk ijtihad islam pada masa belakangan yang sudah matang. Dia juga menuduh yang membuat hadis itu adalah sahabat dan tabi’in. Dia berkata:” Kami tidak bisa mengagungkan hadis yang dibuat pada periode belakangan, bahkan ada hadis-hadis yang dicap oleh orang-orang terdahulu, baik hadis tersebut diucapkan oleh Rasulullah atau  hadis itu adalah produk dari orang-orang Islam yang terdahulu.
Dan keserupaan hadis-hadis shahih dengan hadis- hadis maudhu’ mulai terjadi setelah zaman risalah, dijadikan alasan  oleh orang-orang yang mengikuti madzhab dan musuh-musuh Islam untuk berpendapat bahwasannya hadis itu dibuat-buat  dalam agama untuk tema-tema yang berbeda seperti akidah, ibadah, mu’amalah, dll.
Dari uraian tentang tuduhan-tuduhan orientalis tersebut, maka sangat dibutuhkan kritik terhadap hadis bagi orang-orang Islam untuk membedakan antara hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Tentu saja kritik yang digunakan orientalis berbeda dengan kritik yang digunakan orang Islam. Karena itu banyak hadis-hadis yang dianggap shahih oleh orang Islam tidak diterima oleh orientalis.
-          Penolakan atas Penyerupaan ini
Sesungguhnya agama Islam telah sempurna dengan selesainya risalah nabi Muhammad SAW. Tidak ada lagi syari’at setelah itu. Risalah Muhammad telah sempurna bagi segala sisi kehidupan dan aturan-aturannya. Merata bagi seluruh manusia dengan perbedaan waktu dan tempat. Hadis mengatur segala kehidupan masyarakat baik tentang aqidah, ibadah, akhlak, hukum-hukum mu’amalah, maliyah, dan ijtima’iyyah. Ketika ada peristiwa baru yang perlu ditentukan hukumnya, maka para mujtahid berijtihad dengan mengambil hukum dari al-Qur’an dan as-sunnah.
Adapun tuduhan Jaulad Tasher bahwasannya hadis itu ada palsu, buatan saja yang digunakan semua umat manusia dalam setiap sisi kehidupannya itu merupakan pendapat orang yang tidak tahu tentang sejarah kritik hadis Nabi, tingkatannya sejak masa sahabat.
-          Penolakan terhadap Jaulad Tasher dalam Melemahkan Langkah Menggunakan Hadis-hadis yang Saling Bertentangan
Menurut Jaulad Tasher, ada beberapa cara yang orang Islam lakukan untuk menolak hadis-hadis yang bertentangan.
1.      Melemahkan salah satu rawi dan menguatkan yang lain
2.      Mengumpulkan, lalu di ta’wil
3.      Nasikh mansukh
4.      I’tibar illal
Adapun yang dimaksud dengan melemahkan salah satu sanad adalah bukan melemahkan seperti yang dia kira. Tetapi sesungguhnya adalah menetapkan derajat hadis dengan i’tibar sanad. Apabila salah satu dari dua hadis itu dho’if dan salah satunya kuat dan yang dho’if tidak bertentangan dengan yang kuat, maka tidak berpindah kepada tingkatan yang selanjutnya,
Adapun takwil, maka cukup dengan memperhatikan makna dari matan yang ditunjukkan dengan dalil lughawiyyah atau mengambil syahid dari al-Qur’an atau sandaran lain dengan tidak menggugurkan makna hadis yang bertentangan. Dan Jaulad tidak memperhatikan bentuk ini, yaitu mengumpulkan dua hadis. Karena memang dari awal dia sudah mengatakan bahwasanya metode kritik dia tidak sama dengan kritik yang digunakan umat Islam. Maka tidak asing jika dia melemahkan kritik yang digunakan umat Islam.
Adapun tentang nasikh, maka tidak menggunakan kritik dakhili. Nasikh sudah memiliki tanda-tanda sendiri yang tetap. Maka jika ada nasikh hadis yang dahulu dengan yang baru, maka tidak ada kritik sanad di dalamnya.
Adapun yang disebut dengan i’tibar illal maka tampak yang di maksud adalah tarjih. Dan dari awal Thāhir al-Jawābī sudah menukil bahwasannya yang ditarjih itu adalah unggul dari segi sanad dan matannya.

Sedangkan tuduhannya mengenai pegangan terhadap kritik matan terhadap perasaan kritikus. Padahal para kritikus tidak sembarangan dalam melakukan kritik. Mereka menggunakan barometer dan metode-metode yang jelas dalam kritik matan.



By : Nurul Istiqomah (TH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)





[1] Lihat cover belakang kitab Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits (Tunisia: Mu’assasat ‘Abd al-Karim, 1986)
[2] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits (Tunisia: Mu’assasat ‘Abd al-Karim, 1986), hlm. 5.
[3] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits, hlm. 6.
[4] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits, hlm. 59
[5] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits hlm. 66. Lihat az-Zurqani Syarah al-Muwatha’ juz i hlm. 3.
[6] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits, hlm. 69.
[7] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits, hlm. 71.
[8] Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin fi Naqd al-Matn al-Hadits, hlm. 446.

2 Komentar

  1. www(dot)updatebetting(dot)com
    [Sbobet / Live Casino / Ibcbet / Sabung Ayam / Togel / Fishing World / E-Games]

    BalasHapus
  2. Beli kitab Muhammad thahir al-jawabi nya dmna kak?

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak