SEJARAH HADIS DALAM PEMIKIRAN MUHAMMAD MUHAMMAD ABU SYUHBAH ; Telaah atas kitab fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihhah Al Sittah


A. PEMIKIRAN MUHAMMAD ABU SYAHBAH ATAS HADIS
*      Sunnah dan kedudukannya dalam islam
Dalam mendefinisikan sunnah, pandangan Muhammad Muhammad Abu Syahbah tidak jauh berbeda dengan ulama hadis (muhaddis)sebelumnya yakni:  
اقوال النبي صلى الله عليه وسلم, وأفعاله, وتقريراته, وصفاته الخلقيه والخلقيه
Al-Hadits adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah (penciptaan) atau khuluqiyah (akhlak) yang melekat pada diri Nabi.[1]
Lebih lanjut, ketika Ia mendefinisikan sunnah ketika itu pula Ia juga mendefinisikan al-Hadis, karena menrut beliau kata sunnah hanyalah muradif dari kata hadis.[2]
Sedangkan mengenai posisi hadis, pandangan-Nya tidak berbeda dengan ulama-ulama lain, Ia  memposisikan sunnah-hadis sebagai sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Quran.  Al-Qur’an sebagai sumber refrensi atau pandangan hidup, al-Qur’an adalah peraturan atau undang-undang yang konfrehensif dan meliputi aspek ushul dan kaidah asasi islam: ideologi, ibadah, etika, muamalah, dan sopan santun. Adapun sunnah berfungsi sebagai penjelas dan manifestasi langsung seluruh kandungan al-Qur’an, dengan demikian hukum serta arahan yang ditunjukkan sunnah mesti diikiuti dan ditaati.
*    Otoritas sunnah dalam menetapkan hukum  (istiqlal al-Sunnah)
Satu dari beberapa persoalan yang masih diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw untuk ditaati. Sedangkan kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah,( ان الحكم إلالله), sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah),. Menurutnya, al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya,  boleh saja berbeda dengan al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya? Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya
            Dalam memahami hal ini, Muhammad Muhammad Abu syahbah senada dengan apa yng dilontarkan  imam syafi’i di atas yang menyatakan hadis/sunnah mempunyai otoritas tinggi dalam menetapkan hukum meskipun suatu hukum tersebut tidak disebutkan dalam Al qur’an,[3] menurutnya fungsi yang ketiga ini sama sekali tidak bertentangan dengan al-qur’an dari sisi manapun, yang isinya merupakan ketetapan hukum dari nabi yang wajib diikuti. Hal ini sama sekali tidak diartikan mendahulukan sunnah ketimbang al-qur’an, tetapi menaati Allah SWT untuk taat kepada-Nya dan Rasul-Nya, padahal Allah berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.[4]
Lebih lanjut dalam mempertahankan pendapatnya, beliau melakukan kroscek ulang atas hadis yang menyatakan ketidakbolehan (baca;haram) mengikuti sunnah jika bertentangan dengan teks al-Qur’an[5]

B.     SEPUTAR TADWIN DAN LARANGAN PENULISAN HADIS
Secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah,[6] dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Hadis, yang dimasa Nabi SAW belum sama sekali terdapat pembukuan (kodifikasi) layaknya Al qur’an, dan hal tersebut tidaklah lepas dari beberapa faktor.
Dalam hal ini, menurut beliau ada beberapa faktor yang menyebabkan belum terjadinya pembukuan hadits dimasa Nabi:
*      Hafalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan, begitu pula halnya dengan hadis, dan konon orang-orang Arab terkenal mempunyai kekuatan hafalan yang tinggi. Dan salah satu cara mereka dalam menjaga hadis adalah dengan mengandalkan daya ingat mereka tersebut.
*      Masih minimnya alat tulis diwaktu itu
*      Adanya larangan dari Nabi sendiri untuk menulis hadis;
لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه وحدثوا عنى ولا حرج ومن كذب عليّ متمعدا فليتبوّأ مقعده من النار"
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang menulis dariku selain Al-Quran maka hendaklah ia menghapusnya. Riwayatkanlah dari saya. Barangsiapa yang sengaja berbohong atas nama saya maka bersiaplah (pada) tempatnya di neraka ” (HR. Muslim).[7]
Namun dalam menanggapi hadis (larangan) tersebut, Abu Syahbah  menilai larangan tersebut menunjukkan ekspresi dari kekhawatiran Nabi akan tercampurnya hadis dengan al-Qur’an, sibuknya mereka pada penulisan hadis mengalahkan perhatian mereka pada al-Qur’an.[8]
Lebih lanjut, larangan tersebut merupakan larangan bagi kalangan tertentu yakni bagi sahabat yang belum mampu mengatasi problem diatas, sebaliknya bagi sahabat yang sudah dirasa mampu dalam hal hafalan, bisa membedakan teks al-Qur’an dengan teks hadis, maka boleh bagi mereka menulis hadis.[9]
            Dalam menguatkan pendapatnya ini beliau bertendensi pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah. Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar menuliskan untuk Abu Syah.
"يا رسول الله اكتبوا لى. فقال :اكتبوا لأبى شاه"
“Wahai Rasulullah. Tuliskanlah untukku. Nabi bersabda (pada sahabat yang lain), tuliskanlah untuknya.”

*      Kodifikasi hadis secara umum
Sebagaimana ulama yang lain, pendapat Abu syahbah mengenai munculnya ide pembukuan hadis adalah pada masa Umar Bin Abdul Aziz sebagaimana termaktub dalam Al Muwatta di mana Ia menulis surat kepada gubernur Madinah, Abu Bakar Bin Muhammad agar menulis dan mengumpulkan hadis. Abu Bakar wafat pada tahun 120 H sedangkan pemerintahan Umar adalah mulai tahun 99-101 H. Sikapnya (baca;ide) ini berawal dari kekhawatiran beliau (kkhalifah) akan adanya pemalsuan hadis dari pihak yang tidak bertanggung jawab yang disebabkan, wilayah islam yang semakin luas, adanya perbedaan politik dan aliran dalam umat muslim sendiri.[10]
            Bila ajal telah menjemput Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebelum dapat melihat kitab-kitab yang dihimpun oleh Abu bakar, namun beliau tidak akan luput dari buah jerih payah-Nya yang ranum tersebut sebagaimana yang direalisasikan oleh Ibnu Syihab al-Zuhri.[11]

*      Kegiatan para imam dalam membukukan hadits
Para ulama di setiap kota melaksanakan pembukuan hadis yang diinstruksikan oleh Umar bin Abdul Aziz. Mereka mengumpulkan hadits dan atau sunnah, membahasnya, dan dalam kegiatan ini para imam sudah mulai memisahkan hadits yang shahih dari yang dhaif. Mereka berargument sekarang sudah saatnya untuk menulis hadis. Mereka tidak lagi merasa berdosa untuk menulis hadits. Dengan demikian, muncullah satu kesepakatan diantara mereka yakni “menulis”  hadits. Lebih jauh anggapan mereka Karena pekerjaan (menulis) ini dianggap sebagai kebaikan dan bahkan kewajiban bagi orang-orang tertentu sebagai perwujudan dari kewajiban menyampaikan ilmu[12]
Dengan demikian tidaklah berlebihan jika masa ini dikatakan masa pembukuan hadits telah memasuki periode yang sangat gemilang. Tugas ini dilakukan secara istimewa oleh para ulama yang terkenal kejujurannya, amanah, kesungguhan dan ketelitiannya. Mereka selalu membawa alat tulis dan menjumpai ulama hadits untuk mendapatkan hadits secara langsung. Mereka rela mengembara ke berbagai negeri. Dalam pengembaraannya mencari ilmu dengan keterbatasan bekal dan sulitnya transportasi, mereka patut dibanggakan dan menjadi ulama sepanjang masa lebih-lebih sebagai panutan untuk diikuti jejaknya oleh generasi islam mendatang.[13]
*      Penyebaran  pembukuan hadits
Setelah generasi az-Zuhri dan Abu Bakar bin Hazm, generasi berikutnya yang ikut membukukan hadits. Mereka itu diantaranya antara lain:
Abu Bakar Muhammad Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, wafat tahun 150 H di Makkah, Maumar bin Rasyid, wafat tahun 153 di Yaman,  Abu Amar Abdurrahman al-Auza’i, wafat tahun 156 H di Syam, Sa’id bin Abi Urubah, wafat tahun 151 H di Basrah, Rabi bin Subaih, wafat tahun 160 H di Bashrah, Hammad bin Abi Salamah, wafat tahun 176 H di Bashrah, Muhammad bin Ishaq, wafat tahun 151 H di Madinah, Imam Malik bin Anas, wafat tahun 179 H di Madinah, Abu Abdullah Sufyan ats-Tsauri, wafat tahun 161 H di Kufah,  Abdullah bin Mubarak, wafat tahun 181 H di Khurasan, Husyaim bin Basyir, wafat tahun 188 H di Wasit, Jarir bin Abdul Hamid, wafat tahun 188 di Raih, dan Al-Laits bin Sa’ad, wafat tahun 175 di Mesir
Namun pada masa ini metode pembukuan hadits masih bercampur antara hadits Nabi SAW  dengan perkataan shahabat dan fatwa tabi’in.
Sayang sekali, karya-karya dari periode ini tidak ada yang sampai pada kita selain al-Muwatta’ Imam Malik. Bahkan sebagian naskah hadits itu hanya terdapat di beberapa perpustakaan Barat. Salah satu dari sebab (sekalipun menjadi sebab utama) hilangnya sebagian besar warisan ilmu Islam  ini adalah Tragedi dan penyerangan keji terhadap Islam oleh tentara Salib. disamping itu karena pertikaian umat Islam itu sendiri.[14]
*      Zaman keemasan pembukuan hadits (200-330 H)
Kemudian terjadi langkah baru dalam pembukuan hadits yang berlangsung di penghujung abad kedua hijriyah.
Para penghimpun hadits abad itu ada yang menyusun secara “Musnad”. Seperti hadits tentang shalat ditempatkan berdampingan dengan hadits zakat dan hadits jual beli. Jadi yang dijadikan patokan dalam penyusunan hadits itu adalah kelompok sahabat.
Metode ini mengklasifikasikan shahabat berdasarkan kronologi keislamannya[15], dengan urutan sebagai berikut:
   1. ‘Asyratul Mubasysyirina bil jannah (sepuluh shahabat ahli surga)[16]
   2. Ahlul Badar
   3. Ahlu Hudaibiyah
   4. Orang yang masuk Islam dan berhijrah diantara masa Hudaibiyah dan penaklukan kota Makkah
   5. Orang yang masuk Islam pada hari penaklukan Makkah
   6. Shahabat yang masih berusia muda (kecil) di masa Nabi
   7. perawi wanita dan seterusnya
Menurut-Nya ulama terbaik yang menyusun hadits dengan metode ini adalah imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab musnad-nya.
Di abad ketiga hijriyah itulah merupakan zaman keemasan sejarah dan pengumpulan hadits. Pada abad itu muncul sejumlah ulama dan kritikus hadits terkemuka. Pada masa itu pula, terbitlah “Kutubus Sittah” dan kitab semisal yang memuat hampir seluruh hadits Nabi SAW yang menjadi pegangan utama bagi para ulama fiqih, mujtahid, dan penulis lainnya. Sastrawan, ahli pendidikan, psikolog, dan sosiolog mendapatkan apa yang mereka perlukan dari kitab tersebut.[17]

C.    PERIWAYATAN DALAM SEJARAH ISLAM
Meskipun periwayatan bukan hal yang baru, dan telah dikenal sebelum Islam, tetapi periwayatan sebelum Islam tidak menganggap penting terhadap kebenaran ceritanya, penyelidikan keadaan para perawinya dan kebenaran cerita itu dengan fakta yang sebenarnya. Mereka belum memiliki sikap kritis, pembahas, penilai, dan penyaring segala yang diriwayatkan seperti halnya yang dimiliki oleh Islam. Yang mereka riwayatkan itu tidak mengandung nilai-nilai suci yang harus diagungkan. Oleh karena itu, dapat kita temukan banyak cerita-cerita bohong yang terdapat dalam kitab mereka yang hanya bertujuan untuk memuaskan perasaan sebagai hiburan atau untuk membangkitkan semangat perjuangan dan keberanian dalam pertempuran.[18]
Adapun perawi dalam Islam, sangat menyadari bahwa semua hukum syara’, halal dan haram itu harus berdasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi SAW. Mereka mengetahui bahwa menambah sesuatu dalam agama, sama dengan menambah dan mengurangi sesuatu dalam agama.[19]
Maka dari itu, para perawi memperketat dan menetapkan syarat-syarat bagi periwayatan, Dasar-dasar dan kaidahnya yang menjadi ketentuan dalam ilmu naqd (kritik) baik di masa lalu maupun di masa kini. Perhatian terhadap kebenaran riwayat, meneliti dan mengkritiknya, baik sanad maupun matannya adalah ciri khas yang hanya terdapat dalam sistem periwayatan dalam Islam.
Dalam kitab-nya beliau mengutip pendapat Ibnu Hazm di dalam kitab-Nya Al-Milal wal Nihal berkata, “Riwayat orang terpercaya dari orang yang terpercaya sampai kepada Nabi Muhammad SAW dengan sanad yang bersambung, adalah anugerah dari Allah yang dikhususkan bagi umat Islam, dan tidak diberikan kepada umat lain”.[20]
            Dengan melihat beberapa hadis yang ditawarkan dalam kitab-Nya (fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihah Al Sittah  ), dapat disimpulkan bahwa dalam menerima dan atau menentukan suatu hadis itu shahih haruslah dengan suatu ketelitian baik dengan kritik sanad ataupun matan. Selanjtnya dalam melihat bagaimana proses periwayatan dan perjalanan hadis dapat dilihat dari sejarah periwayatan pada masa sahabat, tabi’in serta sosio historis mengitarinya.[21]

a)      Periwayatan pada masa sahabat
Dalam meriwayatkan suatau hadis sahabat tidak serta merta menerimanaya begitu saja , hal ini bisa dilihat dari ketelitian mereka terhadap hadis dan perawinya, seperti yang dicontohkan Abu Syahbah ketika seseorang menceritakan hadits kepada Ali karramallahu wajhah maka beliau meminta sumpah orang itu. Jika berani bersumpah barulah Ali bin Abi Thalib mau menerimanya. Ketelitian sahabat juga dapat dilihat dari ungkapan salaha seorang sahabat Abdullah bin Mas’ud: “Berdosa orang yang selalu memberitakan segala yang didengarnya”

b)     Periwayatan pada masa tabi’in
Para tabi’in dan generasi sesudahnya sangat berhati-hati dan teliti terhadap hadits dan perawinya. Dalam shahih Muslim, Ibnu Sirin berkata: Ilmu hadits ini adalah agama, maka telitilah orang yang kamu ambil ajaran agama itu kemudian  Sufyan ats-Tsauri berkata: Sanad hadits adalah senjata orang mukmin
Abdullah bin Mubarak berkata: Sanad itu ketentuan agama. Seandainya tidak ada sanad niscaya orang berbicara seenaknya
Imam Syafi’i berkata: Perumpamaan orang yang mencari hadits tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar di malam hari
Pernyataan diatas menunjukkan perhatian dan kejelian terhadap sanad-sanad hadits, mengkritik serta menerangkan keadaan perawinya.

c)      Pengumpulan dan kritikan dilakukan secara bersama
Pada masa ini (abad ketiga Hijriyah), para ulama hadis sudah mulai berijtihad untuk menentukan kebenaran setiap hadits, bahkan setiap huruf. Mengkritik hal-ihwal perawi serta sangat hati-hati dalam penukilan. Demikian pula mereka menyelidiki hafalan setiap perawi dengan cara membandingkan riwayat yang satu dengan riwayat lainnya. Apabila mereka menemukan bukti kelemahan perawi tersebut maka mereka menilai lemah (dhaif) dan meninggalkannya.
Lebih lanjut, pada masa ini sudah tidak lagi hanya terkungkung dalam kajian sanad (naqd al kharij) saja melainkan sudah dalam dataran matan (naqd ad-Dahili). Untuk menentukan suatu hadis itu munkar atau maudlu; ada beberapa faktor bertentangan dengan akal sehat, indera, al-Qur’an, sunnah mutawatir atau yang masyhur, dan pertentangan tersebut tidak bisa dikompromikan. Diantara kaidah yang dicetuskan oleh mereka adalah: Apabila kamu melihat hadits yang bertentangan dengan akal sehat, menyalahi al-Qur’an atau bertentangan dengan ushul, maka ketahuilah hadits itu adalah maudlu (palsu)

D.    TANGGAPAN ATAS PEMIKIRAN MUHAMMAD MUHAMMAD ABU SYAHBAH
Sangat layak jika dikatakan pemikiran dari Abu Syahbah ini cukup menarik untuk dikaji, hal ini dikarenakan kajian yang Ia tawarkan sangatlah urgen dan berharga dalam perkembangan sejarah islam, serta alur pemikirannya yang lebih cenderung untuk mengkaji ulang sejarah-sejarah hadis baik itu dari segi ilmu dan yang berkenaan dengan studi kitab (dalam hal ini kutb Al Sittah).
Namun harus disadari tetap saja terdapat sisi kelemahan dalam pemikiran yang Ia tawarkan dalam hal ini, menurut penulis, ada beberapa sisi kelemahan pemikiran yang ditawarkan oleh Muhammad Muhammad Abu syahbah khusunya dalam kitabnya:
Masih belum  ada kontribusi dalam kajian mengenai ilmu hadis dan atau methode dalam memahami hadis layaknya ulama’ yang lain
Dalam memaparkan sejarah beserta kajian yang berkaitan dengannya, Abu Syahbah dalam menjelaskan masih terlalu ringkas, padahal yang namanya sejarah menurut penulis haruslah dijelaskan dengan lebih mendetail dan tentunya (lebih baik lagi) disertakan dengan pendapat-pendapat ulama’ ataupun pakar yang intens dalam keilmuan sejarah.
Namun sebagai pengkaji ilmu hadis dapatlah kita mengambil sisi positif dan semangat dari jerih payah beliau,  lebih-lebih yang ditawarkan Abu Syahbah adalah sejarah dan study kitab hadis yang sangat berharga dan urgen bagi peminat hadis.

By : Salimuddin (TH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)



[1] Ketika Abu syahbah mendefinisikan hadis seperti diatas Ia menambahkan dengan obeberapa pendapat ulama’ yang menambahkan akan perluasan dari arti sunnah tyakni: perkataan sahabat, tabi’in, dan perbuatan mereka. Pernyataan ini diperkuat dengan landasan hadis Rasulullah SAW:

عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه ابو داود والترميذى وقال: حسن صحيح)
Lebih jelas lihat Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihaj Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 8
[2] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihhah Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 8

[3] Sebagai contoh disini adalah Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.

[4] Al-Qur’an surat Al-hasyr ayat 7
[5] Redaksi hadis yang dimaksud adalah
اذاجاءكم عنى حديث فاعرضوه على كتاب الله فما وافق فخذوه, وما خالف فاتركوه
Menurutnya hadis ini diriwayatkan oleh….
[6] Garansi yang dimaksud disini adalah adanya pemeliharaan dari Allah SWT terhadap al qur’an secara jelas dalam surat Al Hijr ayat 9
[7] Hadis riwayat Imam Muslim shahih Muslim kitab al-Zuhd Wa Al-Raqaiq bab al-tasbit Al-hadis Wa hukmi kitabati Al ‘ilmi no 5326 CD ROM. Mausuah al-Hadis al-Syarif, (Global Islamic Software,1997)
[8] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihaj Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 18
[9] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihaj Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 18
[10] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihaj Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 22
[11] Ibnu Syihab Al-zuhry mengatakan: Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kami menghimpun sunnah, lalu kami menulisnya menjadi beberapa buku kemudian beliau mengirimkan satu buku kepada setiap wilayah yang berada dalam kekuasaan beliau. Lebih jelasnya buka Muhammad ‘Ajjaj Al-khatib Ushul Al-hadis (terjemahan;Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. (Jakarta: gaya media Pratama 2007) halaman 154
[12] Fath Al Bari, juz I halaman 165
[13] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihaj Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 23
[14] Muhammad muhammad abu Syahbah fi rihab ….
[15] Diantara mereka ada yang menyusun huruf abjad nama shahabat. Mereka memulai dengan shahabat yang huruf pertama namanya “alif”, “ba” dan seterusnya. Pengarang terbaik dalam cara ini di masa lalu itu adalah Imam ath-Thabrani (wafat tahun 360 H) dalam kitabnya “Mu’jam al-Kabir”. Ulama lain yang menyusun dengan metode ini ialah Ishaq bin Rahawaih (wafat tahun 328 H), Utsman bin Abi Syaibah (wafat tahun 239 H), dan banyak lagi yang lainnya. Di masa itu ada pula yang mengarang kitab hadits dengan sistematika bab-bab fiqih mulai dari kitab shalat, zakat, siyam (shaum), haji, buyu, dan seterusnya. Diantara penulis yang mengikuti cara ini adalah:
    -Orang yang hanya mengumpulkan hadits shahih saja seperti Imam al-Bukhari dan Imam Muslim
    -Disamping memuat hadits shahih, juga memasukkan hadits hasan, bahkan hadits dhaif sekalipun. Terkadang mereka menerangkan derajat haditsnya, dan kadangkala tidak menjelaskannya, namun sanadnya ditulis lengkap, dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk meneliti sanad dan matannya, serta untuk membedakan antara hadits shahih, hasan dan dhaif. Membedakan ini bukanlah pelajaran yang sulit bagi pelajar hadits, terutama bagi ulamanya. Kitab hadits yang disusun dengan sistem seperti ini dilakukan oleh penghimpun as-Sunan al-Arba-ah (empat kitab sunan): Abu Dawud,at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah. Lebih jelas buka Muhammad Abu syahbah…..
[16] Mereka adalah Abu bakar as-sidiq, umar bin khattab, utsman bin ‘affan, Ali bin abi thalib, Thalhah bin ubaidillah, Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Sa’id bin zaid bin ‘Amru, dan Abu ‘Ubaidah Amir bin Jarrah    Alaihimussalam
[17] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihah Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 23
[18] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihah Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 32
[19] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihah Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 32
[20] Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihah Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 33
[21] Dalam tulisan ini, penulis sedikit membahas mengenai sejarah periwayatan pada masa sahabat dan periwatan pada masa tabi’in, sedangkan mengenai sosio historisnya penulis belum mencantumkannya. Lebih jelas lihat Muhammad Muhammad Abu syahbah fi Rihab Al-sunnah Al Kitab Al sihah Al Sittah  (kairo: Mujma’ Al Mabhuts Al Islamiyyah) halaman 27

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak