Setelah
munculnya pemalsuan-pemalsuan hadits dengan berbagai sebab[1], maka sebuah
keharusan untuk menguji setiap periwayatan yang dinisbatkan pada Rasulullah
saw. apakah bernilai shahih atau tidak. Dan dirasa sangat sulit untuk melacak
fenomena-fenomena tersebut jika hanya menggunakan kritik sanad, melainkan harus
menggunakan kritik matan.[2]
Studi
kritik sanad telah muncul di kalangan sahabat, perihal periwayat, dimulai dari
keadilan (integritas pribadi) maupun kedlabitan (kapasitas intelektual). Kemudian
berkembang dan berkembang seiring semakin banyaknya mata rantai.[3] Sedangkan dalam
hal kritik matan, Menurut al-Adlabi, belum ada tulisan tentang obyek kritik
matan secara komprehensif.[4]
Suatu
ketika ada pada riwayat yang tidak bisa kita bayangkan dari Nabi saw. sehingga
para ‘ulama menolaknya, tanpa menghiraukan kualitas sanadnya. Bahkan ada
riwayat yang ditolak, meskipun sanadnya shahih. [5]
Selain
itu, terjadi pula kekeliruan yang terjadi dalam riwayat, diantaranya disebabkan
oleh beberapa factor:[6]
a) terbatasnya
kodifikasi hadits
b) periwayatan
secara makna
Menanggapi hal di atas,
al-Adlabi juga telah menjelaskan tentang urgensi dari obyek studi kritik matan,
yaitu:[7]
1) Menghindari sikap sembrono dan berlebihan dalam meriwayatkan suatu hadits
karena karena adanya ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan ini
2) Menghadapi kemungkinan adanya kesalahan pada diri para periwayat
3) Menghadapi musuh-musuh Islam yang memalsukan Hadits dengan menggunakan
matan shahih tapi sanadnya tidak shahih
4) Menghadapi kemungkinan adanya kontradiksi antara beberapa riwayat.
Oleh karena itu, al-Adlabi
menetapkan beberapa kriteria dalam hal kritik matan. Yang merupakan ringkasan dari criteria-kriteria yang
telah ditetapkan ulama’ hadits terdahulu, yaitu:[8]
a) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an al-Karim
b) Tidak bertentangan dengan hadits dan sirah nabawiyah yang shahih
c) Tidak bertentangan dengan akal, indra atau sejarah
d) Tidak mirip dengan sabda kenabian
By : Riyadlul Badi’ah (TH UIN SUKA YOGYAKARTA)
By : Riyadlul Badi’ah (TH UIN SUKA YOGYAKARTA)
[1] Sebab munculnya pemalsuan dibagi dua: 1) sebab-sebab yang
disengaja; a) niat menghancurkan Islam dari dalam, b) pembelaan terhadap aliran
(politik, agama, geografis), c) terdorong motif duniawi (mendekati penguasa dan
mencari pendukung), 2) sebab-sebab yang tidak disengaja; a) terjadinya
kekeliruan atau kesalahan pada diri periwayat, b) penyusupan hadits palsu dalam
karya periwayat oleh orang lain tanpa sepengetahuan dirinya. Sedangkan
sumber-sumber yang digunakan dalam pemalsuan berasal dari dua hal; 1) sumber
intern, yaitu berasal dari dunia imajenasi semata, 2) sumber ekstern; a)
pernyataan sahabat atau tabi’in, tetapi dikatakan sebagai perkataan Rasulullah
saw. b) perkataan para filosuf, Zahid, atau dokter, c) israiliyat d)filsafat
[2] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, hlm.
46.
[3] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, hlm.
4.
[4] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, hlm.
16.
[5] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, hlm.
4.
[6] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, hlm.
53-54.
[7] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, hlm.
7-11.
[8] Salahuddin ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadits, hlm.
209.
Lagi Piala Dunia nih, yuk mari daftar dan pasang jagoan mu www(dot)updatebetting(dot)co
BalasHapus