A. Pendahuluan
Kajian teks-teks keagamaan, dewasa ini
sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan perlu melibatkan disipilin ilmu lain, sebab
problem sosial keagamaan semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber dari
ajaran al-Qur’an dan hadis harus juga berdialog dengan realitas dan
perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma
interkoneksi keilmuan menjadi
sebuah keniscayaan sejarah, sehingga
analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (baca:
al-Qur’an dan Hadis) bisa lebih
dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perekembangan masyarakat.
Kajian hadits memang menarik perhatian banyak peminat studi hadis, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang berupa kritik terhadap otentisitasnya, maupun metode pemahamannya, terus berkembang mulai dari yang tekstualis hingga kontekstualis, dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model pendekatan dalam memahami hadis, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Kajian hadits memang menarik perhatian banyak peminat studi hadis, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang berupa kritik terhadap otentisitasnya, maupun metode pemahamannya, terus berkembang mulai dari yang tekstualis hingga kontekstualis, dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model pendekatan dalam memahami hadis, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Adalah Muhammad Abu Zahwu (w.1403 H) seorang
ulama Mesir yang juga tertarik dalam mengkaji hadits. Beliau mengkaji hadits
dari segi historisnya, yang kemudian dituangkannya dalam kitabnya al-Hadits wa
al-Muhadditsun. Kitab ini memuat pemikiran beliau atas hadis dan juga sejarah
perkembangan hadis mulai dari masa Rasulullah saw sampai masa sekarang.
Dalam makalah ini akan dipaparkan pemikiran umum Muhammad
Abu zahwu atas Hadits Nabi, kemudian pembahasannya lebih difokuskan pada
masalah israiliyat. (Tentunya) Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “kajian
kontemporer atas hadis”yang diampu olehProf. Dr. Suryadi, M.Ag, juga demi
memenuhi kehausan penulis akan samudra keilmuan as sunnah nabawiyyah.
B. Abu Zahwu dan
Kitab al Hadits wa al Muhadditsun
1. Sekilas Biografi Abu Zahwu
Dr. Muhammad Abu Zahwu[1]
memiliki nama lengkap Syihabuddin Muhammad Abu Zahwu, kuniyahnya Abu Muhammad
al Azhari. Beliau berkewarganegaraan mesir.
Beliau adalah alumni al Azhar Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan
Hadits. Lulus dari Universitas tersebut dangan nilai mumtaz, dan
merupakan prestasi pertama dalam sejarah rihlah ilmiahnya. Beliau berguru pada
beberapa Syaikh diantaranya adalah ayah beliau sendiri, Marwan Syahin, Jaudah
al Mahdi, Abdullah al Syadzali, Fathiy el Zoughbiy, Abdul Mahdi Abdul Qodir,
Syaikh al Albani, Syaikh Muhammad Shalih dan Doktor Muhammad ‘Ammarah[2].
Gelar doktor yang disandang beliau diraih pada tahun 1946[3]. Ia merupakan salah seorang tenaga pengajar pada fakultas ushul ad-din di Universitas al-Azhar.[4]. Beliau wafat pada tahun 1403 H[5].
Gelar doktor yang disandang beliau diraih pada tahun 1946[3]. Ia merupakan salah seorang tenaga pengajar pada fakultas ushul ad-din di Universitas al-Azhar.[4]. Beliau wafat pada tahun 1403 H[5].
2. Kitab al Hadits wa al Muhadditsun
Kitab ini merupakan buah karya Muhammad Abu Zahwu dalam khazanah keilmuan
hadis. Dalam kitabnya ia menyebutkan bahwa pada fase ini, faktor politik
memiliki peranan yang mendominan bagi para ulama sebagai latar belakang dalam
menyusun sebuah kitab dan corak dari kitab tersebut. Menurut beliau, setelah
khilafah ‘Abasiyah berhasil diruntuhkan oleh tentara Mongol pada tahun 656 H,
kemudian disusul dengan penghancuran kota Baghdad yang dilakukan oleh Hulaku
Khan (salah satu pemimpin Mongol) selama 40 hari, rihlah ilmiyah para ulama ke
berbagai daerah Islam menjadi terhenti dan terputus. Sehingga, para ulama pada
fase ini hanya menekuni dan mengkaji kitab-kitab ulama terdahulu dengan cara
mengkumpulkan, meringkas, mensyarahi, mentakhrij hadis-hadisnya dan lain
sebagainya, seperti al Bushairi (840 H) yang menyusun kitab zawa’id, as Sakhawi
(902 H) yang menyusun kitab al Maqasid al Hasanah, as Suyuti (911 H) yang
menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan lain sebagainya. Selain itu, perhatian
orang-orang terhadap hadis semakin berkurang dan mayoritas dari mereka hanya
menekuni pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan furu’ (cabang).[6]
Dalam kata pengantarnya atas kitab al-Hadits wa al-Muhadditsun, Husnain
Muhammad Makhluf yang merupakan seorang pemberi fatwa kenegaraan dan ketua
dewan fatwa pada Universitas al-Azhar memberikan komentar dan sambutan yang
sangat baik. Menurut beliau, kitab tersebut sangat dibutuhkan kehadirannya
karena isi kitabnya yang merupakan
sanggahan atas pendapat orang-orang yang berpaling dari sunnah, mematahkan
sunnah, dan menolak periwayatan sunnah. Keberadaan kitab al-Hadis wa
al-Muhadditsun dipandang mampu meluruskan
atas pendapat-pendapat sebagian orang
yang keliru atas sunnah.[7]
Kesungguhan Muhammad Abu Zahwu dalam membuktikan orisinalitas sunnah yang
kedudukannya sebagai sumber ajaran kedua dalam islam, merupakan bukti
konsistensi para ulama dalam membendung arus pemikiran yang keliru di bidang
sunnah. Seperti pengungkapan tentang banyaknya kekeliruan yang muncul pada
periode pertama dari orang-orang kafir
dan orang-orang munafik yang ingin merusak sunnah.
Nur al Din Itr dalam Kitabnya Manhaj al Naqd fi ‘Ulum al Hadits
memberikan penjelasan bahwa Kitab Al Hadits wa Al Muhadditsun karya Abu
Zahwu ini ditulis pada masa kebangkitan dari kejumudan ilmu hadits yang
diperkirakan dimulai sejak awal abad ke 14 H[8]
hingga sekarang (karya lain yang muncul pada masa tersebut adalah kitab al
Sunnah wa Makanatuha fi al Tasyri’al Islami karya Mushtafa al Shiba’i).
Pada masa ini aktivitas keilmuan tampaknya banyak difokuskan untuk membahas
pendapat-pendapat yang sudah banyak berkembang di Barat. Di dalam Kitab ini
dijelaskan bagaimana para ulama sangat tekun dalam mencurahkan hidupnya untuk
mengabdi kepada sunnah. Penjelasan beliau di dalam kitabnya tersebut disertai
dangan hasil penelitian atas hadits pada masa-masa awal hingga masa pembukuan
hadits. Kitab ini juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan
yang berkenaan dengan hadits[9].
C. PemikiranMuhammad
Abu Zahwu Atas Hadits Nabi
·
Definisi Sunnah
Menurut pemahaman Abu Zahwu, sunnah secara bahasa adalah
الطريق حسنة كانت ام سيئة (kebiasaan yang baik atau buruk)[10].
Hal ini berdasarkan hadits beliau yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ
سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ
عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً
سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا[11]
Yang dimaksud
dengan as-Sunnah (kebiasaan) di sini adalah segala perkara yang telah
dikerjakan oleh orang-orang terdahulu yang kemudian dikerjakan kembali
dikemudian hari. Sedangkan pengertian sunnah secara istilah, menurut abu zahwu,
terdapat perbedaan dari kalangan para ahli (ulama). Hal ini karena sudut
pandang dan objek pembahasan yang berbeda-beda dari masing-masing disiplin
ilmu, sebagaimana ahli ushul, ahli fiqh dan ahli hadits.
Menurut pendapat
Ushuluyyin, sunnah adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan
Nabi. Sebagian dari mereka juga mendefinisikan makna sunnah dengan perbuatan
para sahabat termasuk khulafa’ al rasyidin, baik perbuatan tersebut
dalam rangka mengamalkan isi atau kandungan al Qur'an dan Hadis Nabi saw
ataupun bukan. Hal tersebut adalah seperti perbuatan Sahabat dalam mengumpulkan
Al-Qur'an menjadi satu Mushhaf. Pendapat ini disandarkan pada hadits Nabi saw
yang berbunyi عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
مِنْ بَعْدِي. Sunnah yang bermakna seperti ini menurut mereka muradif
dengan makna hadits[12].
Sedangkan menurut fuqaha, Sunnah adalah jalan agama yang ditempuh selain
dari yang berkedudukan fardu dan berkedudukan wajib, maka jalan tersebut ialah
berkedudukan sunnah.[13]
Adapun menurut
kalangan Muhadditsin, mereka mengikuti pendapat para jumhur yang
mengartikan sunnah sebagai:
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعله
وتقريرته وصفاته الخلقية والخلقية وسيره ومغازيه وبعض أخباره قبل البعثة.
Menurut
mereka, bahwasanya termasuk sunnah Nabi adalah segala perbuatan Nabi saw
sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Seperti ber-tahannuts di gua
Hira, dan sifat yang baik dari beliau adalah jujur dan amanah. Dari pengertian
ini dapat simpulkan bahwa Abu zahwu tidak membedakan pengertian Sunnah dengan
hadits. Berbeda dengan Musthafa Azami yang membedakan antara Sunnah dan Hadits.
Menurutnya, makna sunnah adalah teladan kehidupan; sehingga makna sunnah Nabi
adalah teladan kehidupan beliau. Sedangkan hadits mempunyai arti segala sesuatu
yang dinisbatkan keoada kehidupan Nabi.[14]
Lanjut Abu Zahwu, Ulama Islam
menjelaskan bahwa wahyu itu terbagi dua: pertama, wahyu yang terbaca (al
wahy al matluww) yaitu al-Qur’an, dan kedua, wahyu yang tidak
terbaca (al wahy ghayr al matluww) yaitu sunnah. Sunnah
digolongkan ke dalam bentuk “wahyu” disebabkan dua ayat al Qur’an: pertama, “wa
maa yanthiqu ‘ani’l-hawaa in huwa illaa wahyun yuuhaa”, dan
kedua, “man yuthi’i al-rasûla faqad athâ‘a Allâah”[15].
·
Periodesasi Sunnah
Kajian Hadis telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah dan melewati
beberapa fase yang berbeda-beda yang di mulai sejak Rasulullah SAW masih hidup
sampai zaman kita sekarang. Setiap fase, memiliki corak dan metode yang berbeda
dengan periode yang lainnya. Hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan
kondisi juga kebutuhan umat Islam akan hadis.[16]
Dalam kitabnya al-Hadits wa al-Muhadditsun, Abu Zahwu membagi periodesasi
sunnah dalam tujuh tahapan:
1) Sunnah pada periode pertama(masa Rasulullah
saw.)
2) Sunnah pada periode kedua(masa khilafah
al-rasyidin)
3) Sunnah pada periode ketiga (masa pasca khulafah
al-Rasyidinhingga abad pertama hijriyah)
4) Sunnah pada periode keempat (abad kedua
hijriyah)
5) Sunnah pada periode kelima (abad ketiga
hijriyah)
6) Sunnah pada periode keenam (tahun 300 H sampai
tahun 656 H)
7) Sunnah pada periode ketujuh(tahun 656 Hijriyah
sampai masa kini).
Seputar Penulisan hadits
Seputar Penulisan hadits
a.
Penulisan hadis pada masa Rasulullah saw.
Berbicara tentang penulisan hadits pada masa ini maka tidak akan luput dari
perdebatan ulama tentang adanya larangan dan pembolehan oleh Nabi dalam penulisan
hadits.
Dalam hal ini, Abu Zahwu memaparkan pendapatnya mengenai persoalan
tersebut. Larangan penulisan hadits tersebut bukan merupakan larangan beliau
secara mutlak ditujukan kepada seluruh sahabat dan untuksepanjang masa. Akan
tetapi, larangan tersebut bersifat kontekstual. Para jumhur sepakat jika
larangan tersebut bersifat umum (karena masih banyak para sahabat yan belum
pandai menulis) sedangkan perintah penulisannya bersifat khusus (bagi sahabat
yang pandai dalam hal tulis menulis).
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwasanya larangan penulisan hadits
bersifat umum sedangkan perintah penulisannya bersifat khusus. Adapun izin
penulisan hadits yang disberikan kepada sebagian sahabat tidak diwajibkan
sebagaimana halnya al Qur’an[17].
Pada mulanya Nabi tidak membolehkan menulis sabda-sabdanya, karena khawatir
akan terjadi percampuran dengan ayat-ayat al Qur’an yang tertulis. Umat islam
belum terbiasa dengan gaya Kitab suci yang fasih dan mengagumkan. Setelah
beberapa lama, barulah mereka menjadi akrab dengan al Qur’an dan kebutahurufan
semakin berkurang sehingga nabi memandang perlu untuk mengizinkan penulisan
teks-teks di luar al Qur’an juga[18].
Abu Zahwu mempertahankan teori di atas dengan mengatakan bahwa melalui ini
kearifan Nabi menjadi jelas. Jika ummat Islam sudah melakukan penulisan atas
segala sesuatu sejak dini, maka mereka tentu akan sangat mempercayai
catatan-catatan tertulis. Dan itu terjadi ketika seni menulis belum lazim
dipraktikkan. Pada saat yang sama, mereka tentu tidak akan dapat mengembangkan
daya ingat yang luar biasa yang sudah menjadi watak mereka[19].
Kenyataan yang ada dalam hal ini adalah adanya larangan dan penulisan
hadits Nabi. Pelarangan penulisan hadits terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan turunnya al-Qur`an, karena khawatir akan adanya pencampuran antara
al-Qur`an dan hadits. Kemudian Nabi
mengijinkannya sewaktu al-Qur’an tidak diturunkan sehingga kekhawatiran akan
bercampurnya al-Qur’an hadits tidak terjadi. Muhammad abu Zahwu mengutip hadis
yang mengatakan: ketika Nabi sedang sakit (pada waktu sakitnya yang terakhir),
Nabi berkata: “Bawakan untukku sesuatu unutk menulis agar aku dapat menulis
sebuah catatan (kitab), sehingga kamu tidak akan tersesat sepeninggalku”.
Dengan jelas, lanjut Abu Zahwu, ini menunjukkan bahwa ijin untuk menulis telah
menghapus larangan menulis [20].
Implikasi dari adanya perintah penulisan hadits-meskipun hanya bagi
beberapa orang saja- adalah munculnya sahabat-sahabat yang pandai dalam hal
tulis-menulis. Diketahui sedikitnya 19 sahabat dari Makah yang pandai menulis,
diantaranya adalah: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abu
Ubaidah bin Jarrah, Thalhah, Yazid bin Abi Sufyan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
Abu Sufyan bin Harb, Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah, Hathib bin ‘Amru,
Abu Salmah bin Abdul Asad al Makhzumi. Sedangkan para sahabat yang berada di
Madinah – ketika datangnya Nabi saw-, antara Bani Aus dan Bani Khazraj dikenal
hanya sedikit yang pandai tulis menulis. Sedangkan sebagian orang Yahudi telah
belajar menulis. Mereka belajar pada al Shibyan di Madinah pada masa-masa awal.
Dan ketika Islam datang maka penulis dari Bani Aus dan Khazraj semakin
bertambah. Diantara mereka adalah, Sa’ad bin ‘Ubadah, al Mundzir bin ‘Amru,
Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit yang dikenal mampu menulis Arab dan Ibrani.
Dari kalangan sahabat perempuan muncul Syifa’ binti ‘Abdullah al ‘Adawiyah,
istri Nabi saw Hafshah binti Umar, Ummu Kaltsum binti Uqbah, Karimah binti
Miqdad dan lain-lain[21].
b.
Kodifikasi hadits pada masa khalifah Umar bin Abdul Azizi
Masa pembukuan hadits secara resmi terjadi pada masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz. Proses kodifikasi hadits ini merupakan perintah dari khalifah dengan
beberapa pertimbangan, yaitu: 1) tidak ada lagi kekhawatiran terhadap
bercampurnya al Qur’an dan hadits, Karena pada waktu itu al Qur’an sudah
dibukukan dan sudah tersebar luas sejak masa sahabat; 2) berkenaan munculnya
hadits-hadits palsu; 3) ulama yang hafal hadits semakin berkurang jumlahnya,
sedang mereka yang masih ada berpencar tempatnya; 4) banyaknya orang non-Arab (‘ajam)
yang masuk islam dan mereka belum begitu kuat hafalannya[22].
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar mengirimkan surat kepada para
gubernur yang berada di daerah kekuasaanya supaya membukukan hadis yang ada
pada ulama-ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Bunyi surat
tersebut adalah:
انظر ما كان من حديث رسول الله صلى الله عليه و
سلم فاكتبه فإني خفنت دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبل إلا حديث النبي صلى الله
عليه و سلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتى يعلم من لا يعلم فإن العلم لا يهلك حتى
يكون سرا[23]
“lihatlah dan periksalah apa yang Anda peroleh dari hadis Rasullah saw
karena sesungguhnya aku takut akan hilangnya ilmu dan perginya (wafatnya) para
ulama. Janganlah Anda menerima hadis kecuali yang datang dari Rasulullah saw,
sebarkanlah ilmu pengetahuan dan adakan majelis ta’lim sehingga dapat
memperoleh ilmu pengetahuan orang yang tidak tahu. Sesungguhnya ilmu
pengetahuan itu tidak rusak (hilang) kecuali jika dia menjadi barang rahasia”.
Diantara ulama besar yang membukukan hadits atas perintah Khalifah adalah
Abu bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry, seorang
tabi`in yang ahli dalam bidang fiqih dan hadits.[24]
c.
Penulisan Hadits mulai tahun 656 hingga sekarang (fase
ketujuh)
Secara umum, menurut penelitian Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya al-Hadits
Wa al-Muhaditsun menyebutkan bahwa pada fase ini yakni fase ketujuh dari
perkembangan Hadis, faktor politiklah yang memiliki peran yang mendominan bagi
para ulama sebagai latar belakang dalam menyusun sebuah kitab dan corak dari
kitab tersebut. Menurut beliau, setelah khilafah ‘Abasiyah berhasil diruntuhkan
oleh tentara Mongol pada tahun 656 H, kemudian disusul dengan penghancuran kota
Baghdad yang dilakukan oleh Hulaku (salah satu pemimpin Mongol) selama 40 hari,
rihlah ilmiyah para ulama ke berbagai daerah Islam menjadi terhenti dan
terputus. Keadaan seperti ini, pada akhirnya menjadikan riwayah syafahiyah
pun ikut terputus. Sehingga, para ulama pada fase ini hanya menekuni dan
mengkaji kitab-kitab ulama terdahulu dengan cara mengkumpulkan, meringkas,
mensyarahi, mentakhrij hadis-hadisnya dan lain sebagainya, seperti Al Bushairi
(840 H) yang menyusun kitab zawa’id, As Sakhawi (902 H) yang menyusun
kitab al Maqasid al Hasanah, As Suyuti (911 H) yang menyusun kitab Jam’ul
Jawami’ dan lain sebagainya[25].
D. Al-Israiliyat
dalam pandangan Abu Zahwu
Salah satu masalah utama dalam pembahasana
teologis tentang hadits adalah masalah israiliyat. Israiliyyat adalah
hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang mengandung unsur-unsur dari literatur
legendaris dan keagamaan kaum Yahudi. Dr.Dzahaby berkata: Makna Israiliyyat
lebih luas dari definisi yang ada, ia menambahkan bahwa Israiliyyat bukan hanya
dari sumber Yahudi saja akan tetapi dari Nasrani pun termasuk Israiliyyat.
Israiliyat hampir senantiasa dibahas dengan
cara mempertanyakan atau memastikan keandalan dua diantara para perawinya yang
paling penting, Ka`b al-Ahbar (w.32 H/ 652 M) dan Wahab bin Munabbih (w. 110 H/
729 M).[26]
Hal ini pun tidak luput dari pandangan Abu
Zahwu. Dalam kitabnya al-Hadits wa al-Muhadditsun beliau memberikan
penjelasan seputar israiliyyat:
·
Apa yang telah diriwayatkan oleh sahabat dari Ka`ab
al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih serta teman-temanya bukanlah termasuk hadits
Nabi, akan tetapi cerita israiliyyat yang mereka ambil dari kitabnya para ahl
kitab.[27]
·
Allah telah menjelaskan bahwa ahl kitab telah merubah dan
mengganti isi kitabnya sendiri, maka kebenaran yang ada diganti dengan
kebathilan. Dari sini ulama sepakat atas beberapa point sebagai landasan dalam
pengutipan israiliyyat: 1) membenarkan apa yang sesuai dengan al-Qur`an dan
Sunnah, karena keselarasan ini menjadi dalil bahwa keselarasan tidak menerima
perubahan dan pergantian. 2) menolak apa yang tidak sesuai (baca: bertentangan)
dengan al-Qur`an dan Sunnah, karena pertentangan merupakan dalil atas perbuatan
mereka dalam mencampur-adukkan dan melakukan perubahan. 3) hal-hal yang yang
tidak dibenarkan maupun disalahkan oleh syara` maka tidak boleh diterima begitu
saja. Sebagai mana hadits Nabi mengatakan:
لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ
وَقُولُوا{ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا }[28]
Adapun hikmah dari larangan untuk menerima begitu saja adalah kehati-hatian
terhadap ahl kitab, karena terkadang mereka menyalahkan yang benar dan
membenarkan yang salah (baca: kebohongan).
·
Seyogyanya tidak menjadikan hal ini (periwayatan
israilliyat) sebagai landasan untuk mencela sahabat Nabi. Karena pada dasarnya
mereka telah mempertimbangkannya
terlebih dahulu dengan pertimbangan syara` (bi al-Mizan al-Syar`i).[29]Sebelumnya
mereka telah menguasai dasar-dasar syariat dan kaidah-kaidah pokoknya.Selain
itu, berita dan cerita (yang diriwayatkan) tidak berhubungan dengan akidah dan
hukum-hukum. Dengan demikian, periwayatan israiliyyat tidak bisa dijadikan
landasan untuk mencela para perawinya seperti sahabat Ka`ab dan Wahb. Akidah
keduanya tidak berbeda dengan para sahabat lainnya, sesuai dengan apa yang
dibenarkan oleh syara` dan menolak apa yang ditentang oleh syara`.
·
Ketika israiliyyat diriwayatkan tanpa berdasarkan
pertimbangan syara`(bi al-Mizan al-Syar`i), seperti membenarkan ataupun menolak
seluruh isinya; perawi tidak menguasai dasar-dasar syari`at dan
kaidah-kaidahnya; perawi tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang
salah; riwayatnya berbicara tentang akidah dan hukum-hukum, maka yang demikian
ini mengandung implikasi besar dalam perusakan akidah. Dan Allah telah melarang
periwayatan yang demikian ini, sebagaimana yang dikatakan hadits Nabi:
كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ وَكِتَابُكُمْ الَّذِي
أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ
تَقْرَءُونَهُ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ وَقَدْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ
بَدَّلُوا كِتَابَ اللَّهِ وَغَيَّرُوهُ وَكَتَبُوا بِأَيْدِيهِمْ الْكِتَابَ
وَقَالُوا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أَلَا
يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنْ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ لَا وَاللَّهِ مَا
رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا يَسْأَلُكُمْ عَنْ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ[30]
·
Telah terjadi kebingungan pada sebagian ulama, terkait
dengan menyelaraskan hadits-hadits yang melarang bertanya pada ahl kitab dan
hadits riwayat Abdullah bin Amr bin Ash yang mengijinkan bertanya pada ahl
kitab:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا
حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ
النَّارِ
Ada yang menganggap hadits ini shahih dan ada
juga yang menganggapnya bathil (tidak shahih). Yang jelas, hadis ini terdapat
dalam kitab Sahih Bukhari dengan sanad yang muttasil dan tidak ada ulama
satupun yang mempermasalahkannya.[31]
Lanjutnya, menurut Abu Zahwu, tidak ada
pertentangan diantara hadits yang melarang bertanya pada ahl kitab dengan
hadits yang mengijinkannya. Karena makna yang dimaksud dari “hadditsu” dalam
hadits Abdullah bin Amr bin Ash tersebut adalah menceritakan dari mereka setiap
hal yang benar (yang sesuai dengan al-Qur`an dan hadits-hadits shahih). Dan
tidak boleh dimaknai dengan menceritakan setiap perkataan yang benar dan salah,
karena sebagaimana diketahui secara pasti bahwasanya Nabi adalah ma`shum,
terjaga dari perkataan bohong. Dan tidak mungkin Beliau menyuruh dalam
kebohongan. Kemudian kata “لاحرج” adalah sebagai
penguat bahwasanya bertanya pada ahl kitab itu diperbolehkan dengan beberapa
ketentuan (yang telah disebutkan sebelumnya). Hal ini dikuatkan dengan firman
Allah:
فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ[32]
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al Bari mengatakan
bahwa dimungkinkan adanya larangan tersebut terjadi sebelum adanya penetapan
hukum-hukum islam, kaidah-kaidah keagamaan, dan kekhawatiran timbulnya fitnah.
Kemudian ketika sesuatu yang diwaspadai telah hilang maka larangan tersebut
tidak berlaku dan diganti dengan perijinan.[33]
·
Dalam beberapa kitab tafsirnya ulama-ulama besar banyak
terdapat israiliyyat yang dinisbatkan pada Ka`ab dan Wahab juga selain
keduanya. Dan tidak sepatutnya mencela para ulama tersebut karena telah
menyebutkan israiliyyat dalam kitab-kitab mereka, karena mereka berpendapat
bahwa israiliyyat tersebut diriwayatkan dengan pertimbangan syara`, dan mereka
juga telah menyebutkan sanad-sanadnya sampai pada sumbernya (orang yang
mengucapkannya).[34]
·
Termasuk hal yang memprihatinkan adalah adanya dugaan
oleh para pemikir kontemporer yang mempelajari kitab-kitab karya orang-orang
kafir (musuh agama). Dalam kitab-kitab tersebut mereka menemukan adanya
“fitnah” yang menjadi syubhat dalam Islam, dan diambil dari israiliyyat yang
diriwayatkan oleh Ka`ab dan Wahb. Secara sekilas hal ini menunjukkan bahwa
Ka`ab dan Wahab adalah orang Yahudi yang ingin merusak Islam. Mereka juga
menyangka bahwa para sahabat, tabi`in dan generasi setelahnya (termasuk ulama
kritikus) memberikan penilain begitu baik terhadap Ka`ab dan Wahab serta
menta`dil keduanya dengan tanpa memahami intelektualitas keduanya terlebih dahulu.
Pendapat ini
ditolak secara keras oleh Muhammad Abu Zahwu. Beliau mengatakan pendapat ini
tidak keluar kecuali dari orang bodoh yang dipenuhi dengan kebohongan, atau
orang gila yang tidak tahu apa yang dikatakannya.[35]
kebanyakan riwayat-riwayat tersebut muncul dari fantasi-fantasi para tukang
cerita di kemudian hari yang mengatasnamakan riwayat-riwayat itu sebagai dari
Ka`b atau Wahab. Perlu diingat bahwa kebanyakan israiliyat tidak mempengaruhi
isalam sama sekali. Bagaimanapun juga, Ka`b dan Wahab harus dipandang sebagai
perawi yang dapat dipercaya dan muslim yang baik.[36]
By : Muh. Munib (TH UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA)
[1] Tempat tinggal serta tanggal lahir beliau tidak diketahui secara pasti
karena minimnya literatur yang membahas
mengenai beliau. Penulis pun hanya menemukan satu buah karyanya, yaitu kitab
al-Hadits wa al-Muhadditsun.
[3]Arsyif Multaqa Ahl al Hadits 5, Bab Baqiyat Kutub al Mushthalah, Juz
I, hlm. 14583, dalam al Maktabah al Saymilah.
[4]G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits di Mesir 1890-1960, terj. Ilyas
Hasan, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 73-74.
[5]Lihat: www.amlalommah.net, diposting tanggal 29 April 2009
[7]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Beirut: al-Maktabah
al-Taufiqiyyah, tt), hlm. 2.
[8]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 94
[9]Nur al Din ‘Itr, Manhaj al Naqd fi ‘Ulum al Hadits, (Damaskus: Dar
al Fikr, 1992), hlm. 36-74
[10]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …, hlm. 8
[11]Imam Ibnu Majah, SunanIbnu Majah,Bab Man Sanna
Sunnatan Hasanatan au Sayyiatan, Juz I, hlm. 245 dalam DVD al Maktabah
al Syamilah
[12]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…, hlm. 9-11
[13]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 4
[14]Muhammad Mustafa `Azami, Metodologi Kritik Hadis (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), hlm. 21
[15]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…, hlm. 11
[16]www.rowyjambi.blogspot.com, diposting tanggal
21 desember 2010
[17]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa
al-Muhadditsun …, hlm. 123
[18]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 73-74; lihat juga:
Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…, hlm. 122
[19]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 74
[20]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…,hlm. 123-234; Lihat
juga: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 74-75
[21]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …, hlm.120
[22]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …, hlm. 127-128
[23]Imam Bukhari, Shahih al Bukhari, Bab Kaifa Yuqbadhu al ‘ilm, Juz I.
hlm. 175 dalam DVD al Maktabah al Syamilah, lihat juga: Muhammad Abu
Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …,hlm. 127-128
[24]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 60, Atau
lihat: Cecep, Preodesasi Sunnah dalam Pandangan Muhammad Muhammad Abu Zahwu,
Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007, hlm 44.
[25]www.rowyjambi.blogspot.com, diposting tanggal 21 desember 2010
[26]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 177
[27]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun..., hlm. 185
[28]HR. Bukhori no. 4125
[29]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun...., hlm. 186
[30]HR. Bukhari no. 6815
[31]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun, ... hlm. 188-189
[32]QS. Yunus: 94
[33]Ibnu Hajar, Fath al-Bari bab: ma dzukira `an Bani Israil Juz 6, hlm.
498 dalam DVD al-Maktabah al-Syamilah, atau lihat: Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits
wa al-Muhadditsun,...., hlm. 189
[34]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 191
[35]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 192
[36]G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 201