Pemikiran Hadis Ahmad Hassan

Kenabian, menurut Ahmad Hassan, merupakan suatu kondisi yang tidak bisa diwariskan atau dicapai melalui kehidupan yang saleh, dan tidak boleh dikacaukan dengan magic atau ramalan yang bisa dipelajari.(1)
Ahmad Hassan menyatakan bahwa Muhammad benar-benar Rasul yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing umat manusia baik dalam masalah duniawi maupun ukhrawy. Ini ia katakan dalam tujuannya menulis pamflet Benarkah Muhammad itu Rasul? Ia juga menolak pandangan dari golongan Ahmadiah Qadian bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi yang diutus oleh Allah untuk melanjtkan misi dari Nabi Muhammad SAW. Dalam Al-Qur’an sudah jelas menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah Khatam al-Nabiyin (Q.S. Al-Ahzab: 40).(2)

          Berbicara mengenai pemikiran hadis tokoh yang dikenal sebagai ulama’ beraliran reformis dan radikal dalam memutuskan hukum Islam ini, agaknya bukan merupakan hal asing lagi. Sebagaimana yang telah penulis sampaikan, bahwasannya corak pemikiran A. Hassan dipengaruhi pemikiran gerakan salafi. Berangkat dari hal tersebut kiranya kurang lebih dapat dikatakan bahwa pemikiran hadis A. Hassan erat kaitannya dengan pemikiran hadis ulama’salafi.
Menurut Ahmad Hassan, hadis secara bahasa artinya berbicara, percakapan, sesuatu yang baru, dan cerita. Adapun sunnah secara bahasa berarti perjalanan, perbuatan, dan kebiasaan atau biasa disebut dengan sunnah qauly (the untterance), sunnah fi’li (deed), sunnah taqriry (fixation or tacit approval). Hassan percaya bahwa Sunnah telah dikodifikasi pertama kali pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101), yang pertama mengirim surat kepada pemerintah Madinah Abu Bakr Muhammad bin Umar bin Hazm, yang menginstruksikan untuk memulai melakukan pembukuan terhadap sunnah. Dan ini berlanjut sampai munculnya kitab-kitab hadis, yang paling famous ialah: Muwatta’ Imam Malik (w. 178), Shahih Bukhari (w. 251), Shahih Muslim (w. 261), Musnad Ahmad (w. 241), Sunan Ibn Majah (w. 273), Sunan Abu Daud (w. 275), Sunan Al-Tirmidzi (w. 279) dan Sunan al-Nasa’i (w. 303). Ahmad Hassan juga mengklasifikasikan hadis menjadi dua macam; kualitas: Shahih (sound), hasan (fair of God) dan Dha’if (weak) dan kuantitas Mutawatir, Ahad; Gharib, Masyhur, ‘Aziz.
Ahmad Hassan juga mempunyai pendapat yang sama dengan para Ulama, bahwa Hadis merupakan sumber utama Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang secara otomatis Hadis tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an. Adapun fungsi atau kedudukan hadis menurut Hassan adalah penjelas dari Al-Qur’an. Dalam hal ini ia mengambil dalil dalam Al-Qur’an surat Al-Nahl(16): 44 dan surat Al-Hasyr(59): 7.
Masih menurut Hassan, Hadis bisa dijadikan landasan hukum (Hujjah) apabila memenuhi 3 (tiga) syarat; harus berkualitas Shahih, bukan termasuk hadis yang mansukh, dan tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat (Autsaq) atau dengan Al-Qur’an. Hadis yang tergolong kualitas Dha’if, masih bisa dipakai asalkan sejalan dengan Al-Qur’an.(1)
      Mengenai kritik hadis, menurut A. Hassan kritik hadits pada aspek redaksional (matan) dan periwayatan. Kritik yang dimaksud adalah hadits tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran sebagai rujukan utama, tidak boleh bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir atau hadits-hadits yang lebih tinggi derajat keshahihannya. Sedangkan kritik pada periwayatan lebih pada kritik metode penukilan hadits dan kritik rawi (Naqd al-Rijal).

Catatan :
1.    Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, terj. Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.), hlm. 44.
2.   Akhmad Minhaji, Ahmad Hassan And Islamic Legal Reform In Indonesia <1887-1958> (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta Press, 2001), hlm. 106.
3.      Akhmad Minhaji, Ahmad Hassan And Islamic Legal Reform In Indonesia, hlm. 103-105.

1 Komentar

  1. Lagi Piala Dunia nih, yuk mari daftar dan pasang jagoan mu www(dot)updatebetting(dot)co

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak