Pemikiran Hadis Yusuf Al-Qaradhawi ; Yusuf Al-Qaradhawi Vis a vis Nashiruddin Al-Albani

A.      Yusuf Al-Qaradhawi Vis a vis Nashiruddin Al-Albani
Sepanjang manusia masih hidup dalam kerangka ruang dan waktu, sepanjang itu pula keragaman berpikir dan berperilaku akan terjadi.[1] Dalam pergulatan pemikiran hadis merupakan suatu keniscayaan para pemikir kontemporer memiliki teori-teori pemikiran yang berbeda. Adanya pluralitas pemikiran ini tak dapat dipungkiri memicu munculnya kritikan dan perdebatan antar para pemikir. Terkait mengenai pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi ini, yang kerap kali mencuat ke permukaan serta menjadi bahan perbincangan ialah perdebatan beliau dengan Muhammad Nashiruddin Al-Albani, bahkan antara kedua pemikir besar Islam ini timbul adu kritikan terhadap karya-karya besar yang mereka hasilkan.
Berkenaan dengan terbitnya kitab karya Al-Albani dengan judul “Ghayatul Maram fi Takhriji Ahaditsi al-Halal wa al-Haram” yang mentakhrij hadis-hadis dalam kitab “al-Halal wa al-Haram fi al-Islam” (karya Al-Qaradhawi) dan di antaranya menyatakan bahwasannya dalam kitab Halal dan Haram terdapat beberapa buah hadis yang lemah (dha’if), sehingga terdapat salah seorang pembaca yang mempertanyakan hal tersebut kepada Al-Qaradhawi. Mengenai respon beliau dalam menanggapi hal tersebut yaitu, bahwasannya beliau membawakan beberapa hadis dha’if dengan maksud untuk menambah kemantapan atau untuk menenangkan hati, bukan menjadikannya sebagai hujjah dan bukan pula menjadikannya sebagai acuan satu-satunya dalam mengambil keputusan hukum. Oleh karena itu, banyak sekali hukum yang telah tsabit (tetap) berdasarkan dalil-dalil lain yang diambil dari nash-nash yang shahih atau kaidah-kaidah yang telah diakui, kemudian dibawakan hadis disini --meskipun dha’if-- untuk lebih memantapkan hati. Menurut sepengetahuan beliau, tidak seorangpun ulama dahulu yang terbebas dari hal itu.[2]
Selain itu, dalam memberikan tanggapan tersebut Al-Qaradhawi juga melontarkan kritikan kepada Al-Albani. Dalam pandangan Al-Qaradhawi Al-Albani adalah seorang ulama termasyhur pada zaman kita, khususnya mengenai takhrij, tautsiq, dan tadh’if. Namun demikian, tidak berarti perkataanya dalam men-shahih-kan dan men-dha’if-kan suatu hadis merupakan kata pamungkas (qath’iy). Disamping karena terdapat ulama yang berbeda pendapat dengannya dalam penilaian kualitas suatu hadis, seperti Syaikh Al-Allamah Habibur Rahman Al-A’zhami, Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth, Syaikh Abdul Fatah Abu Ghadah, dan lain-lainnya, Al-Albani terkadang juga men-dha’if-kan suatu hadis dalam suatu kitab dan men-shahih-kannya dalam kitab lain.[3] Kemudian pada akhir tanggapan beliau terhadap Al-Albani, beliau tetap mengakui bahwasannya Syaikh Al-Albani memang merupakan seorang ulama Ahli hadis yang termasyhur pada zaman kita.

B.       Tawaran Kritik Terhadap Yusuf Al-Qaradhawi
Tidak dapat dipungkiri lagi Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi yang merupakan pengagum Ibn Taimiyyah ini memang memiliki kelebihan-kelebihan yang menjulang tinggi diantara para pemikir yang lainnya. Beliau sangat aktif dan produktif menyumbangkan ide-ide brilian dalam memecah kebuntuan menghadapi problematika hadis. Namun, hal yang tidak boleh terlewatkan dalam memandang suatu hal ialah mengenai kekurangan yang dimiliki oleh hal tersebut.
Kendati beliau merupakan da’i dan pemikir besar Islam, akan tetapi beliau juga memiliki kekurangan atau hal-hal yang barangkali patut untuk di berikan suatu kritikan. Di antara kritikan yang penulis tawarkan ialah sebagai berikut :
·      Berkaitan dengan komentar beliau dalam menanggapi terbitnya kitab karya Al-Albani dengan judul “Ghayatul Maram fi Takhriji Ahaditsi al-Halal wa al-Haram” yang men-takhrij hadis-hadis dalam kitab “al-Halal wa al-Haram fi al-Islam”, perlu diketahui bahwasannya sebelum memberikan tanggapan atas hal tersebut, agaknya Yusuf Al-Qaradhawi terlalu membanggakan dirinya, beliau berkata : “Para ulama hadis sejak dahulu tidak pernah men-takhrij hadis yang terdapat dalam kitab-kitab yang tidak bermutu. Mereka hanya men-takhrij kitab-kitab yang mempunyai bobot ilmiah serta termasyhur di kalangan ahli ilmu dan masyarakat umum”.[4] Menurut penulis, tidak seharusnya Al-Qardhawi mengatakan hal tersebut, yang terlihat terlalu membanggakan dirinya. Seharusnya sebagai seorang ulama hendaknya menunjukkan sikap kerendahan dirinya atas semua yang dimilikinya --sebagaimana yang dilakukan oleh ulama’-ulama’ dahulu-- karena ulama merupakan public figure yang menjadi pusat atensi dan panutan umat.

·      Mengenai alasan beliau menyuguhkan hadis dha’if dalam kitab beliau, bahwasannya beliau membawakan beberapa hadis dha’if dengan maksud untuk menambah kemantapan atau untuk menenangkan hati, bukan menjadikannya sebagai hujjah dan bukan pula menjadikannya sebagai acuan satu-satunya dalam mengambil keputusan hukum. Menurut penulis, dengan menyuguhkan hadis dha’if terhadap hukum yang telah tsabit (tetap) berdasarkan dalil-dalil lain yang diambil dari nash-nash yang shahih atau kaidah-kaidah yang telah diakui, justru akan memicu munculnya keraguan yang nantinya akan berupaya untuk mengusik ketetapan hukum yang telah ada.

[1] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an ; Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta :eLSAQ Press, 2005), hlm. 150.
[2] Yusuf Al-Qaradhawi, terj. Abu sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, (Jakarta :Robbani Press, 2009), hlm. 413-414.
[3] Yusuf Al-Qaradhawi, terj. Abu sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, hlm. 416-417.
[4] Yusuf Al-Qaradhawi, terj. Abu sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, hlm. 413.

1 Komentar

  1. Lagi Piala Dunia nih, yuk mari daftar dan pasang jagoan mu www(dot)updatebetting(dot)co

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak