PENDAHULUAN
Agama adalah system keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan
yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan
meberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan
suci. (Parsudi Suparlan: 1988)
Di setiap wilayah atau daerah memiliki cara beragama yang
berbeda-beda meskipun mereka memiliki agama yang sama. Antara satu kelompok
masyarakat dengan kelompok lainnya selalu tidak sama dalam mempraktikkan
keyakinan. (Roberston, 1998: 27). Hal ini dikarenakan setiap daerah yang
memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.
Agama merupakan hal baru. Sesuatu yang baru. Sebelum munculnya
agama dalam masyarakat telah lebih dulu berkembang yang namanya kebudayaan.
Karena kebudayaan merupakan seperangkat aturan atau tindakan-tindakan tersirat
yang terus berkembang yang telah disepakati atau diugemi atau dipegang kuat
oleh masyarakat sejak nenek moyang mereka terdahulu. Maka dalam upayanya
menembus atau masuk ke dalam masyarakat
atau khalayak agama membutuhkan media. Karena tanpa media agama akan pincang. Bagaikan
bayi lahir tanpa kaki. Dan akan sulit untuk bisa diterima oleh khalayak atau
masyarakat. Oleh karena itu budaya merupakan media yang paling tepat untuk
agama dalam upayanya menembus “dinding” tebal tersebut.
Setelah agama berhasil menembus masyarakat artinya mampu diterima
dengan baik oleh masyarakat maka akan menimbulkan cara beragama yang disebut
dengan agama historis. Agama historis adalah tata cara beragama yang dilakukan
oleh masyarakat setelah melalui budaya tertentu. Agama historis tentu akan
sangat berbeda dengan tata cara beragama yang sesungguhnya seperti yang tertera
dalam teks suci. Itulah dampak dari kebudayaan yang dilalui agama dalam
prosesnya diterima oleh masyarakat. Itulah wajah agama yang telah sampai kepada
masyarakat. Salah satunya seperti yang tampak di desa Mangadeg ini.
Desa Mangadeg dengan kesederhaan dan keterbatasannya memilki cara
beragama yang unik. Dengan komunitasnya yang dikenal dengan “santri pinggiran”
mereka mengekspresikan agama dengan caranya sendiri. Hal ini menjadikan daya
tarik tersendiri bagi penulis untuk meneliti fenomena dan wacana di sana.
FAKTA-FAKTA
Letak desa Mangadeg berada di pinggiran kota Sleman Yogyakarta.
Sehingga masyarakat Mangadeg sering dikenal dengan sebutan komunitas pinggiran.
Penduduk desa menurut data tahun 1997 sebagaimana tercantum di papan monografi
penduduk berjumlah 2.457 orang. Terdiri dari 1.276 laki-laki dan 1.181
perempuan. Merka hidup dalam keluarga yang terdiri dari 345 KK yang tersebar
dalam 17 wilayah RT (rukun tangga) dan 4 wilayah RW (rukun warga). Selain
karena letaknya yang terpinggirkan, nama pinggiran tersebut juga terkenal
karena masyarakatnya yang terpinggirkan oleh pemerintah.
Terletak di dataran rendah dan curah hujan yang cukup tinggi
menjadikan desa Mangadeg sejuk, subur dan pengairannya lancar. Berbagai tanaman
tumbuh subur di sana. Terutama padi, tebu, palawija dan tembakau. Hal ini yang
menjadikan dan berpengaruh kuat terhadap mata pencaharian penduduk desa
Mangadeg. Mayoritas penduduk desa ini adalah petani (80,7%) sisanya terdiri
dari pegawai negeri sipil (8,3%), buruh pabrik (10,2%), dagang dan usaha swasta
(1,8%).
Desa Mangadeg terkenal karena sosok seorang Pahlawan Indonesia yang
ada di sana. Pangeran Diponegoro. Konon sosok Pangeran Diponegoro pernah
singgah di desa tersebut untuk beristirahat dan menyusun strategi dalam
menghadapi musuh pada zaman Belanda dahulu.
Sekitar desa ini tampaknya sudah sejak lama dijadikan hunian.
Terbukti dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan purbakala berupa reruntuhan candi yang
diperkirakan seusia dengan candi Prambanan dan Borobudur.
Mangadeg merupakan desa yang terletak di pinggiran Sleman
Yogyakarta. Masyarakatnya masih tergolong awam. Hal ini terbukti dengan
pemahaman tentang agama yang masih sederhana. Dan juga kitab-kitab yang mereka
gunakan untuk beragama. Mereka masih menggunakan kitab-kitab praktis dan magis.
Seperti tuntunan solat, tuntunan doa dan amalan-amalan praktis lainnya yang
disebut dengan mujarrobat. Karena pengetahuan yang sederhana dan terbatas maka
budaya yang ada di sana pun sederhana dan serba praktis.
Meskipun secara geografis desa ini sudah dihunbungkan dengan kota,
tetapi secara kultural masih terisolasi. Terlebih lagi faktor agama juga
berperan besar dalam melestarikan keterasingan masyarakat tersebut. Kekuatan
agama demikian kuat menahan masyarakat untuk tetap berada dalam jaringan kultur
mereka yang eksklusif.
Masyarakat Mangadeg menjadikan agama sebagai alat legitimasi dalam
pengambilan sikap, terlebih yang menyangkut eksistensi mereka seperti ekonomi
dan politik. Gampangnya disebut dengan kubu. Di desa ini adalah kubu Pemerintah
sebagai “musuh” dan kubu penduduk desa Mangadeg sebagai “santri pinggiran”.
Kultur mereka yang dikatakan eksklusif tersebut tidak akan mereka biarkan
berubah oleh musuh dan sehingga mereka melakukan perlawanan. Lahirlah nama
“Perlawanan Santri Pinggiran” yang melekat kepada mereka.
Bentuk-bentuk perlawanan seperti apakah yang dimaksud di sini?
Garis besarnya adalah bagi mereka agama merupakan alat legitimasi.
Jadi setiap perlawanan yang dilakukan oleh mereka, mereka menggunakan agama
sebagai landasan perlawanannya. Seperti contoh yang paling menonjol dalam hal
ini adalah tidak dianggapnya aparatur desa dan menomor-satukan kiai. Bahkan
tidak berhenti sampai disitu saja. Kesenian yang nota bene adalah produk
kebudayaan pun ditolak di sini. Seperti pada kasus KKN para mahasiswa di tahun
90-an.
Konsep pemikiran yang menganggap pemerintah memiliki sifat menindas
rakyat telah mendarah daging semenjak zaman Pangeran Diponegoro. Belanda sama
dengan Orde Baru sama dengan Revormasi sama dengan pemerintah sama dengan
menindas.
Bentuk-bentuk kegiatan yang berbau kepemerintahan semuanya berubah
menjadi kegiatan sosial yang bernafaskan islam. Seperti acara 17-an diganti
dengan tahlilan yang dipimpin langsung oleh kiai bukanlah pidato dari aparat
desa yang dilaksanakan secara formal. Dan beberapa lomba masih sedikit diadakan
untk peringatan kemerdekaan ini. Namun untuk peringatan acara Nasional lainnya
tidak. Selebihnya adalah acara-acara yang menjadi kebudayaan mereka seperti
Tarub, Bersih desa, ruwahan dan lain-lain.
Masyarakat Mangadeg memiliki kesalehan agama berbanding terbalik
dengan kesalehan sosial. Mereka memang mampu menerapkan agama dengan baik meskipun
praktis dan sederhana namun dalam hal sosial mereka tidak patut ditiru sama
sekali. Banyak warga desa Mangadeg yang memiliki catatan kepolisian kurang
baik. Mencuri, merampok, dan merampas hak orang lain dianggap sudah biasa.
Tidak heran jika mengetahui bahwa sebagian warga desa adalah mantan narapidana.
KESIMPULAN
Masyarakat Mangadeg Yogyakarta merupakan masyarakat yang beragama
Islam tradisional. Hal ini tercermin dengan kehidupan sehari-hari mereka. Agama
yang masuk melalui budaya telah ditranformasikan sepenuhnya oleh Kiai untuk
disampaikan keapda masyarakat. Sehingga Kiai sendiri itulah yang merupakan
“teks suci” mereka masyarakat Mangadeg. Otoritas sang Kiai sangatlah tinggi
dimata masyarakat Mangadeg. Doktrin sang Kiai adalah pemahaman yang benar dan
bisa menjadikan mereka masuk surga. Oleh karenanya perilaku mereka dalam
menjalin hubungan dengan Tuhan sangatlah baik. Yang jarang bisa ditemukan di
desa lain. Bahkan desa lain bisa menjadi “murid” desa Mangadeg karena sebagian
perilaku keagama-annya mengikuti desa Mangadeg. Dan muncullah sebutan “Mangadeg
Besar”, “Mangadeg Kecil”. Mangadeg Besar adalah “guru” yaitu desa Mangadeg yang
sebenarnya dan “Mangadeg Kecil” adalah “murid” yaitu desa-desa lain yang
berkiblat pada desa Mangadeg.
Mangadeg merupakan desa yg konon pernah disinggahi oleh Pahlawan
Indonesia yaitu Pangeran Diponegoro yang pada massanya terjadi konflik serius
dengan kolonial Belanda. Kolonial Belanda yang selalu menindas rakyat kecil.
Konflik itu pun tak berujung hingga sekarang dengan interpretasi yang berbeda.
Kini Pangeran Diponegoro “diperankan” oleh sang Kiai dan PPP sedangkan Golkar
atau pemerintah bertindak sebagai Kolonial Belanda. Semua perbuatan dan
tindakan ada di satu komando sang Kiai yang kontra terhadap pemerintah.
Untung-untung mereka mau menjalankan aturan pemerintah, mendengarkan pun tidak.
Sehingga aparat desa pun semakin “kecil” keberadaannya di mata masyarakat
Mangadeg. Akhirnya membuat nama “Pinggiran” melekat pada masyarakat ini yang terpinggirkan
oleh pemerintah.
Paham kawan-lawan begitu melekat di hati masyarakat Mangadeg. Tidak
hanya itu, “sabda” sang nenek moyang yang “menghalalkan” segala cara untuk
menjatuhkan lawan pun masih benar-benar “dihalalkan” oleh mereka hingga
sekarang. Maka tak heran jika sebagian masyarakat Mangadeg masih mempunyai
kebiasaan merampas, merampok, dan mencuri. Doktrin sang Kiai pun sekaligus
menjadi “bensin” dalam memerangi pemerintah dan patokan dalam mereka bersosial.
Acara-acara yang bernuansa pemerintah adalah “haram” bagi mereka.
Seperti Agustusan. Namun mereka tetap menunjukkan jiwa nasionalis dengan
mengganti acara Agustusan dengan tahlilan yang dipimpin langsung oleh Kiai.
Sedangkan acara yang mendominasi di desa ini sebagai kegiatan rutin mereka
adalah seperti yag dikatakan oleh sang Kiai. Seperti halnya tarub, ngirim,
ruwahan, Bersih desa dan sebagainya.
Hal-hal di atas menjadikan kontradiktif antara perilaku sosial
dengan perilaku beragama masyarakat Mangadeg. Dan hal demikian merupakan
sebagian dari bentuk perlawanan yang diberikan desa Mangadeg sebagai orang
pinggiran kepada pemerintah.
KOMENTAR
Fenomena dan wacana yang terjadi di masyarakat Mangadeg tentu
menjadi hal yang tersendiri. Saya katakan hal demikian merupakan hal yang unik
dan aneh. Tentunya semua hal di dunia ini memiliki dua sisi positif dan negatif.
Termasuk wacana yang terjadi dalam masyarakat Mangadeg pun demikian.
Wacana yang berkembang di sana adalah bahwa semua yang dikatakan
kiai adalah panutan sekaligus pedoman. Dawuh-dawuh bak wahyu yang ada di teks
suci dalam Al-Quran. Banyak hal yang telah membuktikan ini. Mulai dari
tradisi-tradisi Islam yang sangat kental di sana. Terlebih ketika masyarakat
menerima doa atau meng-amin-i langsung doa dari sang kiai. Mereka seakan
benar-benar merasa aman dan jaminan masuk surga telah mereka dapat. Sehingga
hal tersebut menjadikan kesalehan beragama di desa Mangadeg sangatlah bagus. Mereka
melaksanakan sholat dengan tertib. Membayar zakat pun juga “tertib”. Seluruh
acara atau tradisi-tradisi dilaksanakan dengan kultur-kultur islami
tradisionalis. Yang menjadikan warga hidup guyub rukun. Seperti tarub, bersih
desa, ruwahan dan sebagainya.
Demikianlah desa Mangadeg dari sisi agama historisnya.
Budaya atau tradisi beragama disana seperti terkekang namun mereka
tidak pernah menyadari hal itu karena tertutup oleh kewibawaan kiai dan citra
yang melekat kepada sosok kiai. Citra dan wibawa kiai sangatlah kuat. Terlebih
oleh pengaruh wacana Pangeran Diponegoro yang pernah singgah di sana. Sehingga
masyarakat pun tidak berani menentang apalagi melawan kiai. Sampai-sampai
masalah pribadi pun ikut terbawa dalam mempengaruhi masyarakat desa Mangadeg
ini. Seperti tinddakan kiai yang mendukung parpol itu menurut saya hanyalah masalah
pribadi dan karena ia seorang panutan akhirnya seluruh masyarakat ikut memilih
parpol yang sama dengan sang kiai. Dan ketika sang kiai berganti pilihan,
masyarakat juga ikut berganti pilihan. Demikian halnya ketika sang kiai
membenci terhadap parpol tertentu akhirnya seluruh masyarakat ikutan membenci
parpol tersebut. Artinya masyarakt tidak memiliki pendirian sama sekali. Lebih
jauh lagi, apakah dampak dari mendewakan kiai tersebut? Sangatlah ironi.
Bagaimana tidak? Hal-hal yang dirasa tabu pun di desa ini menjadi hal yang
biasa. Seperti mencuri atau merampok. Tanpa ada tanggapan yang serius. Bahkan
beberapa penduduk desa ini adalah mantan napi. Desa seperti apakah ini yang
memiliki kesalehan agam luar biasa namun tidak berimbang terhadap kesalehan
sosialnya? Bagaimana hal ini tidak unik dan aneh?
Apalah arti dari kitab atau teks suci di desa ini jika hal tersebut
tidak boleh dipelajari? Mereka masyarakat hanya mendengar dari penjelasan sang
kiai itulah yang mereka jadikan doktrin. Yang mereka jadikan kitab. Yang
menjadi pedoman. Ya kalau semua penjelasan kiai itu benar!? Jika salah? Memang
kiai tidak pernah memberi penjelasan atau memeberi perintah untuk mencuri dan
merampok namun apakah sang kiai ikut turun tangan ketika terjadi pencurian dan
perampokan? Saya rasa tidak.
Sampai-sampai seorang yang ingin mendirikan atau memulai
pembelajaran layaknya TPA (Taman Pendidikan al-Quran) pun tidak berhasil. Tidak
mendapt dukungan langsung oleh seorang kiai. Apalagi untuk pembelajaran yang
selain al-Quran? Dan akhirnya kesenian layaknya budaya-budaya tradisional di
desa ini tidak bisa berkembang. Terbukti dengan ekspresi-ekspresi masyarakat
yang diam melihat mahasiswa-mahasiswi melakukan pagelaran disaat KKN di sana.
Kenapa meraka diam? Karena kesenian selain yang diajarkan kia mereka anggap tidak
penting. Apalagi yang berbau birokrasi di sana. Berbau pemerintah. Tewaslah
sudah kesenian ketika masuk wilayah desa ini. Demikian kiranya.
Semua hal yang dikatakan dan dilaksanakan kiai mereka ikuti. Baik
atau buruknya hal tersebut semua mereka ikuti tanpa adanya penalaran atau
pemikiran. Sehingga menjadikan masyarakat Mangadeg benar-benar terkekang. Sosok
kiai dan kewibaannya telah mendarah-daging dalam tubuh masyarakat Mangadeg.
Bisa-bisa hal tersebut berdampak pada saling membunuh antar sesama muslim. Dan
itu mungkin.
Kesalehan sosial yang terlihat buruk juga ketika tidak adanya
semacam kumpul-kumpul warga kecuali ketika hari Jumat saja. Ironinya mereka
juga tidak menggunakan momen Jumatan itu untuk saling tegur sapa apalagi
membahasa wacana yang terjadi tentang keadaan desa. Atau minimal perkembangan
desa. Mereka hanya sekedar jamaah sholat Jumat dan setelah itu pulang ke rumah
masing-masing.
Yang membuat saya sedikit curiga ketika tahu bahwa seorang yang
ingin mendirikan TPA namun ternyata tidak didukung oleh masyarakat. Loh?
Memangnya kenapa? Apakah TPA itu salah? Pantas saja masyarakat desa Mangadeg
dikatakan tidak terlalu mengenal dengan teks suci sebagai pedoman agama mereka.
Apakah hanya karena TPA itu berbau pemerintahan sehingga membuatnya tidak
mendapt dukungan atau bagaimana? Hal ini tentu menjadikan generasi desa
Mangadeg akan gelap dengan perkebangan dan pemikiran yang akhirnya tidak jauh
beda dengan yang sekarang ini. Mendewakan kiai.
Di desa Mangadeg sepeti ada pembagian kasta dalam masyarakatnya.
Kasta tertinggi adalah ngarso dalem yakni keluarga kaia. PNS, perangkat desa
justru bisa dibilang yang kasta yang terendah di desa ini. Bagaimana tidak?
Semua masyarakat tidak menyukainya. Keberadaan mereka seperti tidak dianggap.
Jadi di desa Mangadeg ini bagi saya banyak negatif nya daripada
positifnya. Mungkin jika melihat masyarakat Mangadeg dalam beragama, seorang
akan memberikan apresiasi yang bagus. Dan itu memang benar. Namun ketika
seorang telah “menyelam” di desa Mangadeg lebih dalam maka ia akan menemukan
ketimpangan di sana. Yakni tentang kesalehan sosial seperti yang telah saya
ungkap di atas.
Saya
menangkap beberapa hal sebagai dampak kesalehan sosial di desa Mangadeg yang
kurang baik sebagai berikut:
1.
Kesenian
tidak akan bisa berkembang di desa Mangadeg
2.
Pemikiran-pemikiran
kritis membangun sulit untuk menembus desa Mangadeg
3.
Perasalahan
sosial akan cenderung hilang sebelum terpecahkan, karena mereka cenderung diam.
Seperti kasus bu Padmo, mbak Nur dan lain lain.
4.
Kekuasaan
akan sepenuhnya pada pemikiran kiai dan anak turunnya.
5.
Akan
ada sistem monarchi di desa Mangadeg
6.
Perlawanan
yang terus menerus menggerus prinsip dan pemikiran dan keterbukaan.
7.
Akan
tertindas oleh zaman.
Dan bagi saya masyarakat Mangdeg harus berani membuka pikiran baru
untuk sedikit demi sedikit mengeluarkan masyarakat dari istilah “pinggiran” itu
sendiri. Artinya mereka bisa mengikuti perkembangan zaman yang sekarang.
Hilangkan kebiasaan mencuri dan merampok. Karena bagaimana pun mereka itu
tinggal di sebuah negara. Negara dengan berbagai aparatur pemerintahannya. Dan
seharusnya kiai Abdullah tahu akan perintah al-Quran untuk mentaati aparatur
negara. Bukan malah mengajari masyarakat untuk terus membenci bahkan samapai
melawan pemerintahan. Ironi sekali kan? Di dalam kesalehan beragama yang
terlihat bagus pun ternyata masih ada celah yang sangat kecil namun sangat
mendasar yang bisa menjatuhkan desa Mangadeg itu sendiri. Dan apabila hal itu
telah bisa dilakukan maka saya yaqin masrakat desa Mangadeg akan jauh lebih
baik lagi. Baik itu kesalehan beragama maupun kesalehan sosialnya.
By : Dyan Kurnia Efendy (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
b0la, c4sin0, sabung ayam, dll hanya di Update Betting, yukk buruan..
BalasHapusThanks for such a great post and the review, I am totally impressed! Keep stuff like this coming. majortotosite
BalasHapusfgbfhbfghngjnghjm
BalasHapusافضل شركة تسليك مجاري بالاحساء
erferfvdgbcfhgbf
BalasHapusافضل شركة تسليك مجاري بالاحساء