Kaligrafi Muhammad SAW. Ilustrasi |
Penyertaan kata sayyid adalah bagian dari etika dan penghormatan terhadap Rasulullah SAW.
Para
nabi dan rasul yang diutus Allah SWT adalah manusia pilihan. Kedudukan
mereka sangat terhormat dan mulia. Baik di sisi Sang Khalik ataupun di
hadapan segenap manusia. Seyogianya penghormatan diberikan kepada para manusia utama tersebut. Para malaikat memuliakan Nabi Yahya AS dengan berbagai gelar dan julukan terpandang.
“Kemudian, Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya ketika ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ‘Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi, termasuk keturunan orang-orang saleh.’” (QS Ali Imran [3]: 39).
Demikian pula dengan Nabi Muhammad SAW. Penghormatan kepada pamungkas para nabi dan rasul tersebut sangat ditekankan.
Penegasan akan pentingnya penyebutan Muhammad dengan panggilan terhormat dan tidak lancang atau meremehkan Rasul ditegaskan dalam surah al-Hujurat ayat 1-3.
Bahkan, dalam surah an-Nur ayat 63, Allah melarang panggilan yang sama dan lazim seperti kebiasaan kebanyakan orang terhadap Muhammad.
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).”
Salah satu bentuk pemulian itu ialah dengan tidak memanggil nama Muhammad tanpa disertai gelar atau julukan kemuliaan. Kata sayyid yang berarti pemimpin merupakan satu dari sekian contoh gelar kehormatan tersebut.
Para ulama sepakat, hendaknya menggunakan gelar sayyidketika hendak menyebut nama Muhammad. Ini merujuk ke sejumlah hadis, antara lain, riwayat Muslim dari Abu Hurairah.
Rasulullah SAW sendiri secara langsung menyematkan gelar sayyid. “Aku adalah pemimpin (sayyid) dari anak Adam pada hari kiamat,”sabda Rasul.
Lalu, berangkat dari kesepakatan itu muncul pertanyaan apa hukum menambahkan kata sayyid itu dalam redaksi shalawat di tasyahud pertama dan kedua (shalawat Ibrahimiyyah), azan, iqamat, atau ibadah-ibadah lain, seperti doa dan shalawat lainnya?
Topik ini pun menjadi bahan diskusi menarik di kalangan para ulama. Suara mereka terpecah. Ada pro dan kontra.
Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, berpendapat, penyematan redaksi sayyid dalam zikir atau ibadah lain, seperti azan, iqamat, atau tasyahud awal dan akhir, hukumnya boleh, bahkan sangat dianjurkan.
Lembaga yang pernah dipimpin oleh mufti agung Syekh Ali Jumah itu menyatakan, etika dan adab menghormati Rasul lebih dikedepankan daripada alasan mengikuti (al-itba').
Lembaga yang resmi berpisah dari stuktural pemerintahan pada 2007 itu menyebutkan, Ali bin Abi Thalib pernah menolak permintaan Rasul untuk menghapus kata Rasulullah dalam redaksi Perjanjian Hudaibiyah. Ini semata wujud penghormatan kepada Muhammad SAW.
Opsi ini, menurut Dar al-Ifta, merupakan pandangan mayoritas ulama mazhab. Dari mazhab Syafi'i, sejumlah nama setuju dengan opsi ini, yaitu Jalaluddin al-Muhilli, as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Syamsuddin ar-Ramli.
Dalam kitab ad-Dur al-Mukhtar, al-Hashkafi, seorang imam bermazhab Hanafi, menyatakan hukumnya sunat dan lebih baik menyebutkannya. Selain al-Hashkafi, dari mazhab Hanafi ada al-Halabi, ath-Thahawi, dan Ibnu Abidi.
Sedangkan, di kalangan mazhab Maliki, ada Ibn 'Atha' as-Sakandari, an-Nafrawi, al-Hithab, Ahmad Razuq, dan Imam as-Syaukani. Syekh Ahmad bin as-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani guna menguatkan bolehnya memakai kata sayyid, menulis risalah khusus yang berjudul Tasynif al-Adzan bi Adillati Istihbab as-Siyadah 'Inda Dzikri Ismihi SAW fi as-Shalah wa al-Adzan wa al-Iqamati wa al-Adzan.
Di penghujung fatwanya, lembaga yang kini digawangi Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam itu mengimbau segenap umat agar menjaga adab saat menyebut nama Muhammad SAW.
Penting pula mengajarkan kepada keluarga, anak, dan handai tolan untuk mencintai dan menghormati Rasul melalui panggilan yang pantas dan terhormat.
Edukasi tersebut perlu menyusul maraknya fitnah dan keserampangan pendapat di tengah-tengah masyarakat.
Berseberangan
Sementara itu, pendapat lain mengemukakan fakta berseberangan, yakni hukum penyertaan kata sayyid, baik dalam tasyahud atau ibadah lain, seperti azan, iqamat, dan shalawat tidak boleh dilakukan.
Pendapat ini disampaikan oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Lembaga ini menegaskan redaksi tasyahud, shalawat, azan, dan iqamat yang dicontohkan Rasulullah tidap pernah menyebutkan kata yang berarti pemimpin itu.
Hadis-hadis shahih dengan tegas menyebutkan pelafalan redaksi tanpa kata sayyid. Cukup dengan sebutan Muhammad Rasulullah dalam azan dan kata Muhammad saja dalam tasyahud.
Maka, hendaknya tidak mengada-ada dan menambahkan kata yang tidak dicontohkan oleh Rasul. Pendapat serupa disampaikan oleh Syekh Ibn Utsaimin dan Nasiruddin al-Albani.
Oleh: Nashih Nashrullah
sumber : Republika
Tags
Islamic Study