foto : lintas.me |
Tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya presiden adalah seperti itu. Hari-hari ini orang sedang menengok seorang presiden unik karena tidak seperti gambaran orang kebanyakan Jose Alberto Mujica Cordano, presiden Uruguay.
Dia beda dengan yang ada dalam bayangan banyak orang. Bajunya sederhana. Mobilnya cuma VW kodok. Dia menolak tinggal di kediaman resmi kepresidenan di ibu kota, Montevideo. Pepe begitu dia biasa dipanggil lebih memilih tinggal di tanah pertanian di luar ibu kota. Bahkan, jalan menuju kediaman Mujica belum dilapisi aspal. Gajinya senilai sekitar Rp 120 juta, disisihkan untuk disumbangkan sebesar 90 persen untuk donasi. Dia cuma mengambil sisanya untuk hidup sehari-hari dan cukup. Ibu negara alias istrinya, masih jual tanaman bunga.
Oleh sebagian besar media internasional, dia pun disebut sebagai presiden termiskin di dunia. Tapi, benarkah dia miskin?
Ada dua hal "kemiskinan" dalam hal ini. Kemiskinan secara statistik ekonomi adalah dihitung dari pendapatan dan harta yang dimilikinya. Namun, kemiskinan dan kekayaan dalam konteks lain adalah menyangkut jiwa (mental/karakter). Mujica merasa bahwa dia tidak miskin. Meski juga tidak mau disebut kaya.
foto : theglobejournal.com |
"Ini adalah masalah kebebasan. Jika Anda tak memiliki banyak barang maka Anda tak perlu bekerja keras untuk mempertahankannya dan bekerja seumur hidup layaknya budak. Dengan cara seperti ini, Anda memiliki lebih banyak waktu untuk diri sendiri," tambah dia.
Mujica mungkin sudah di atas rata-rata tingkat kematangan hidupnya. Sebagai mantan gerilyawan, dia memang memilih hidup tidak gampang. Dan dia, bisa membuktikan, bahwa dirinya kaya. Dalam arti, jiwanya kaya. Bukan seperti seorang koruptor, yang kelihatan mewah, 180 derajat beda dengan gaya Mujica, tapi apa yang terjadi: Orang yang miskin hati selalu kurang, jiwanya keropos dan korup. Menjadi pejabat dengan jiwa yang keropos, selalu mencari waktu dan kesempatan untuk korupsi.
Di kehidupan kita, di Indonesia, tentu apa yang terjadi dengan Mujica bukan tidak ada, banyak. Anda bisa memberikan contoh-contohnya, walaupun tidak sepenuhnya sama. Meski bukan sinetron, masyarakat kita masih butuh semacam contoh teladan. Dengan contoh presiden seperti Mujica itu, yang menjalani hidupnya secara alami, sederhana dan tidak pernah curhat kalau gajinya tidak naik, pasti masyarakat merasa tenang. Paling tidak yakin presidennya tidak korup.
Kita memang butuh contoh. Meski, untuk sebuah negara, contoh arif bijaksana nan sederhana, bukan segala-galanya. Ketegasan untuk menghentikan tindakan koruptif juga dibutuhkan. Dan, sebagai negara, tantangan lain adalah kesejahteraan. Mujica mendapat tekanan karena contoh kesederhanaannya dianggap tidak cukup untuk menyejahterakan rakyat. Dan, popularitasnya pun menurun.
Kebutuhan masyarakat terhadap pemimpin (terutama presiden), memang tidak cukup gaya sinetron belaka. Selain contoh bijak, diperlukan juga kecakapan, ketegasan, ilmu pengetahuan, keluasan jaringan nasional-internasional, diplomasi luar negeri, mental pemimpin, tangguh, konseptual, dan lain-lain. Siapa yang bisa memenuhi banyak kriteria, barangkali kita bisa tenang dan bahagia memiliki pemimpin negeri ini.
foto : republika.co.id |
Dari kenyataan di atas, adalah tidak mudah menjadi calon pemimpin negeri. Tak cukup cuma modal gaya sinetron, apalagi cuma modal nekat. Duh, siapa ya?!
sumber : Merdeka