Pemikiran Hadis Abu Zahwu dalam Kitab al-Hadis wa al-Muhaddisun(w.1403 H) : Al-Israiliyat dalam pandangan Muhammad Abu Zahwu

A.    Pendahuluan
Kajian teks-teks keagamaan, dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan  perlu melibatkan disipilin ilmu lain, sebab problem sosial keagamaan semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan hadis harus juga berdialog dengan realitas dan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma  interkoneksi  keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga  analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (baca: al-Qur’an dan Hadis)  bisa lebih dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perekembangan masyarakat. 
        Kajian hadits memang menarik perhatian banyak peminat studi hadis, baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Bahkan hingga sekarang, kajian terhadap hadits baik yang berupa kritik terhadap otentisitasnya, maupun metode pemahamannya, terus berkembang mulai dari yang tekstualis hingga kontekstualis,  dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang model literal hingga yang liberal. Apapun ragam dan model  pendekatan dalam memahami hadis, hal itu merupakan apresiasi dan interaksi mereka dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.   
Adalah Muhammad Abu Zahwu (w.1403 H) seorang ulama Mesir yang juga tertarik dalam mengkaji hadits. Beliau mengkaji hadits dari segi historisnya, yang kemudian dituangkannya dalam kitabnya al-Hadits wa al-Muhadditsun. Kitab ini memuat pemikiran beliau atas hadis dan juga sejarah perkembangan hadis mulai dari masa Rasulullah saw sampai masa sekarang.
Dalam makalah ini akan dipaparkan pemikiran umum Muhammad Abu zahwu atas Hadits Nabi, kemudian pembahasannya lebih difokuskan pada masalah israiliyat. (Tentunya) Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “kajian kontemporer atas hadis”yang diampu olehProf. Dr. Suryadi, M.Ag, juga demi memenuhi kehausan penulis akan samudra keilmuan as sunnah nabawiyyah.

B.     Abu Zahwu dan Kitab al Hadits wa al Muhadditsun
1.      Sekilas Biografi Abu Zahwu
Dr. Muhammad Abu Zahwu[1] memiliki nama lengkap Syihabuddin Muhammad Abu Zahwu, kuniyahnya Abu Muhammad al Azhari. Beliau berkewarganegaraan mesir.  Beliau adalah alumni al Azhar Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits. Lulus dari Universitas tersebut dangan nilai mumtaz, dan merupakan prestasi pertama dalam sejarah rihlah ilmiahnya. Beliau berguru pada beberapa Syaikh diantaranya adalah ayah beliau sendiri, Marwan Syahin, Jaudah al Mahdi, Abdullah al Syadzali, Fathiy el Zoughbiy, Abdul Mahdi Abdul Qodir, Syaikh al Albani, Syaikh Muhammad Shalih dan Doktor Muhammad ‘Ammarah[2].
Gelar doktor yang disandang beliau diraih pada tahun 1946[3]. Ia merupakan salah seorang tenaga pengajar pada fakultas ushul ad-din di Universitas al-Azhar.[4]. Beliau wafat pada tahun 1403 H[5].
2.      Kitab al Hadits wa al Muhadditsun
Kitab ini merupakan buah karya Muhammad Abu Zahwu dalam khazanah keilmuan hadis. Dalam kitabnya ia menyebutkan bahwa pada fase ini, faktor politik memiliki peranan yang mendominan bagi para ulama sebagai latar belakang dalam menyusun sebuah kitab dan corak dari kitab tersebut. Menurut beliau, setelah khilafah ‘Abasiyah berhasil diruntuhkan oleh tentara Mongol pada tahun 656 H, kemudian disusul dengan penghancuran kota Baghdad yang dilakukan oleh Hulaku Khan (salah satu pemimpin Mongol) selama 40 hari, rihlah ilmiyah para ulama ke berbagai daerah Islam menjadi terhenti dan terputus. Sehingga, para ulama pada fase ini hanya menekuni dan mengkaji kitab-kitab ulama terdahulu dengan cara mengkumpulkan, meringkas, mensyarahi, mentakhrij hadis-hadisnya dan lain sebagainya, seperti al Bushairi (840 H) yang menyusun kitab zawa’id, as Sakhawi (902 H) yang menyusun kitab al Maqasid al Hasanah, as Suyuti (911 H) yang menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan lain sebagainya. Selain itu, perhatian orang-orang terhadap hadis semakin berkurang dan mayoritas dari mereka hanya menekuni pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan furu’ (cabang).[6]
Dalam kata pengantarnya atas kitab al-Hadits wa al-Muhadditsun, Husnain Muhammad Makhluf yang merupakan seorang pemberi fatwa kenegaraan dan ketua dewan fatwa pada Universitas al-Azhar memberikan komentar dan sambutan yang sangat baik. Menurut beliau, kitab tersebut sangat dibutuhkan kehadirannya karena  isi kitabnya yang merupakan sanggahan atas pendapat orang-orang yang berpaling dari sunnah, mematahkan sunnah, dan menolak periwayatan sunnah. Keberadaan kitab al-Hadis wa al-Muhadditsun dipandang mampu meluruskan  atas pendapat-pendapat sebagian orang  yang keliru atas sunnah.[7]   
Kesungguhan Muhammad Abu Zahwu dalam membuktikan orisinalitas sunnah yang kedudukannya sebagai sumber ajaran kedua dalam islam, merupakan bukti konsistensi para ulama dalam membendung arus pemikiran yang keliru di bidang sunnah. Seperti pengungkapan tentang banyaknya kekeliruan yang muncul pada periode pertama dari orang-orang kafir  dan orang-orang munafik yang ingin merusak sunnah.
Nur al Din Itr dalam Kitabnya Manhaj al Naqd fi ‘Ulum al Hadits memberikan penjelasan bahwa Kitab Al Hadits wa Al Muhadditsun karya Abu Zahwu ini ditulis pada masa kebangkitan dari kejumudan ilmu hadits yang diperkirakan dimulai sejak awal abad ke 14 H[8] hingga sekarang (karya lain yang muncul pada masa tersebut adalah kitab al Sunnah wa Makanatuha fi al Tasyri’al Islami karya Mushtafa al Shiba’i). Pada masa ini aktivitas keilmuan tampaknya banyak difokuskan untuk membahas pendapat-pendapat yang sudah banyak berkembang di Barat. Di dalam Kitab ini dijelaskan bagaimana para ulama sangat tekun dalam mencurahkan hidupnya untuk mengabdi kepada sunnah. Penjelasan beliau di dalam kitabnya tersebut disertai dangan hasil penelitian atas hadits pada masa-masa awal hingga masa pembukuan hadits. Kitab ini juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan yang berkenaan dengan hadits[9].

C.    PemikiranMuhammad Abu Zahwu Atas Hadits Nabi
·         Definisi Sunnah
Menurut pemahaman Abu Zahwu, sunnah secara bahasa adalah الطريق حسنة كانت ام سيئة  (kebiasaan yang baik atau buruk)[10]. Hal ini berdasarkan hadits beliau yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا[11]
Yang dimaksud dengan as-Sunnah (kebiasaan) di sini adalah segala perkara yang telah dikerjakan oleh orang-orang terdahulu yang kemudian dikerjakan kembali dikemudian hari. Sedangkan pengertian sunnah secara istilah, menurut abu zahwu, terdapat perbedaan dari kalangan para ahli (ulama). Hal ini karena sudut pandang dan objek pembahasan yang berbeda-beda dari masing-masing disiplin ilmu, sebagaimana ahli ushul, ahli fiqh dan ahli hadits.
Menurut pendapat Ushuluyyin, sunnah adalah segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi. Sebagian dari mereka juga mendefinisikan makna sunnah dengan perbuatan para sahabat termasuk khulafa’ al rasyidin, baik perbuatan tersebut dalam rangka mengamalkan isi atau kandungan al Qur'an dan Hadis Nabi saw ataupun bukan. Hal tersebut adalah seperti perbuatan Sahabat dalam mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu Mushhaf. Pendapat ini disandarkan pada hadits Nabi saw yang berbunyi عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي. Sunnah yang bermakna seperti ini menurut mereka muradif dengan makna hadits[12]. Sedangkan menurut fuqaha, Sunnah adalah jalan agama yang ditempuh selain dari yang berkedudukan fardu dan berkedudukan wajib, maka jalan tersebut ialah berkedudukan sunnah.[13]
Adapun menurut kalangan Muhadditsin, mereka mengikuti pendapat para jumhur yang mengartikan sunnah sebagai:
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم وأفعله وتقريرته وصفاته الخلقية والخلقية وسيره ومغازيه وبعض أخباره قبل البعثة.
Menurut mereka, bahwasanya termasuk sunnah Nabi adalah segala perbuatan Nabi saw sebelum beliau diangkat menjadi rasul. Seperti ber-tahannuts di gua Hira, dan sifat yang baik dari beliau adalah jujur dan amanah. Dari pengertian ini dapat simpulkan bahwa Abu zahwu tidak membedakan pengertian Sunnah dengan hadits. Berbeda dengan Musthafa Azami yang membedakan antara Sunnah dan Hadits. Menurutnya, makna sunnah adalah teladan kehidupan; sehingga makna sunnah Nabi adalah teladan kehidupan beliau. Sedangkan hadits mempunyai arti segala sesuatu yang dinisbatkan keoada kehidupan Nabi.[14]
Lanjut Abu Zahwu, Ulama Islam menjelaskan bahwa wahyu itu terbagi dua: pertama, wahyu yang terbaca (al wahy al matluww) yaitu al-Qur’an, dan kedua, wahyu yang tidak terbaca (al wahy ghayr al matluww) yaitu sunnah. Sunnah digolongkan ke dalam bentuk “wahyu” disebabkan dua ayat al Qur’an: pertama, “wa maa yanthiqu ‘ani’l-hawaa in huwa illaa wahyun yuuhaa”, dan kedua, “man yuthi’i al-rasûla faqad athâ‘a Allâah”[15].
·         Periodesasi Sunnah
Kajian Hadis telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah dan melewati beberapa fase yang berbeda-beda yang di mulai sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai zaman kita sekarang. Setiap fase, memiliki corak dan metode yang berbeda dengan periode yang lainnya. Hal tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi juga kebutuhan umat Islam akan hadis.[16]
Dalam kitabnya al-Hadits wa al-Muhadditsun, Abu Zahwu membagi periodesasi sunnah dalam tujuh tahapan:
1)      Sunnah pada periode pertama(masa Rasulullah saw.)
2)      Sunnah pada periode kedua(masa khilafah al-rasyidin)
3)      Sunnah pada periode ketiga (masa pasca khulafah al-Rasyidinhingga abad pertama hijriyah)
4)      Sunnah pada periode keempat (abad kedua hijriyah)
5)      Sunnah pada periode kelima (abad ketiga hijriyah)
6)      Sunnah pada periode keenam (tahun 300 H sampai tahun 656 H)
7)      Sunnah pada periode ketujuh(tahun 656 Hijriyah sampai masa kini). 
Seputar Penulisan hadits
a.       Penulisan hadis pada masa Rasulullah saw.
Berbicara tentang penulisan hadits pada masa ini maka tidak akan luput dari perdebatan ulama tentang adanya larangan dan pembolehan oleh Nabi dalam penulisan hadits.
Dalam hal ini, Abu Zahwu memaparkan pendapatnya mengenai persoalan tersebut. Larangan penulisan hadits tersebut bukan merupakan larangan beliau secara mutlak ditujukan kepada seluruh sahabat dan untuksepanjang masa. Akan tetapi, larangan tersebut bersifat kontekstual. Para jumhur sepakat jika larangan tersebut bersifat umum (karena masih banyak para sahabat yan belum pandai menulis) sedangkan perintah penulisannya bersifat khusus (bagi sahabat yang pandai dalam hal tulis menulis).
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwasanya larangan penulisan hadits bersifat umum sedangkan perintah penulisannya bersifat khusus. Adapun izin penulisan hadits yang disberikan kepada sebagian sahabat tidak diwajibkan sebagaimana halnya al Qur’an[17].
Pada mulanya Nabi tidak membolehkan menulis sabda-sabdanya, karena khawatir akan terjadi percampuran dengan ayat-ayat al Qur’an yang tertulis. Umat islam belum terbiasa dengan gaya Kitab suci yang fasih dan mengagumkan. Setelah beberapa lama, barulah mereka menjadi akrab dengan al Qur’an dan kebutahurufan semakin berkurang sehingga nabi memandang perlu untuk mengizinkan penulisan teks-teks di luar al Qur’an juga[18].
Abu Zahwu mempertahankan teori di atas dengan mengatakan bahwa melalui ini kearifan Nabi menjadi jelas. Jika ummat Islam sudah melakukan penulisan atas segala sesuatu sejak dini, maka mereka tentu akan sangat mempercayai catatan-catatan tertulis. Dan itu terjadi ketika seni menulis belum lazim dipraktikkan. Pada saat yang sama, mereka tentu tidak akan dapat mengembangkan daya ingat yang luar biasa yang sudah menjadi watak mereka[19].
Kenyataan yang ada dalam hal ini adalah adanya larangan dan penulisan hadits Nabi. Pelarangan penulisan hadits terjadi pada waktu yang bersamaan dengan turunnya al-Qur`an, karena khawatir akan adanya pencampuran antara al-Qur`an dan hadits.   Kemudian Nabi mengijinkannya sewaktu al-Qur’an tidak diturunkan sehingga kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur’an hadits tidak terjadi. Muhammad abu Zahwu mengutip hadis yang mengatakan: ketika Nabi sedang sakit (pada waktu sakitnya yang terakhir), Nabi berkata: “Bawakan untukku sesuatu unutk menulis agar aku dapat menulis sebuah catatan (kitab), sehingga kamu tidak akan tersesat sepeninggalku”. Dengan jelas, lanjut Abu Zahwu, ini menunjukkan bahwa ijin untuk menulis telah menghapus larangan menulis  [20].
Implikasi dari adanya perintah penulisan hadits-meskipun hanya bagi beberapa orang saja- adalah munculnya sahabat-sahabat yang pandai dalam hal tulis-menulis. Diketahui sedikitnya 19 sahabat dari Makah yang pandai menulis, diantaranya adalah: Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Thalhah, Yazid bin Abi Sufyan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Sufyan bin Harb, Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah, Hathib bin ‘Amru, Abu Salmah bin Abdul Asad al Makhzumi. Sedangkan para sahabat yang berada di Madinah – ketika datangnya Nabi saw-, antara Bani Aus dan Bani Khazraj dikenal hanya sedikit yang pandai tulis menulis. Sedangkan sebagian orang Yahudi telah belajar menulis. Mereka belajar pada al Shibyan di Madinah pada masa-masa awal. Dan ketika Islam datang maka penulis dari Bani Aus dan Khazraj semakin bertambah. Diantara mereka adalah, Sa’ad bin ‘Ubadah, al Mundzir bin ‘Amru, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit yang dikenal mampu menulis Arab dan Ibrani.
Dari kalangan sahabat perempuan muncul Syifa’ binti ‘Abdullah al ‘Adawiyah, istri Nabi saw Hafshah binti Umar, Ummu Kaltsum binti Uqbah, Karimah binti Miqdad dan lain-lain[21].
b.      Kodifikasi hadits pada masa khalifah Umar bin Abdul Azizi
Masa pembukuan hadits secara resmi terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Proses kodifikasi hadits ini merupakan perintah dari khalifah dengan beberapa pertimbangan, yaitu: 1) tidak ada lagi kekhawatiran terhadap bercampurnya al Qur’an dan hadits, Karena pada waktu itu al Qur’an sudah dibukukan dan sudah tersebar luas sejak masa sahabat; 2) berkenaan munculnya hadits-hadits palsu; 3) ulama yang hafal hadits semakin berkurang jumlahnya, sedang mereka yang masih ada berpencar tempatnya; 4) banyaknya orang non-Arab (‘ajam) yang masuk islam dan mereka belum begitu kuat hafalannya[22].
Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar mengirimkan surat kepada para gubernur yang berada di daerah kekuasaanya supaya membukukan hadis yang ada pada ulama-ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Bunyi surat tersebut adalah:
انظر ما كان من حديث رسول الله صلى الله عليه و سلم فاكتبه فإني خفنت دروس العلم وذهاب العلماء ولا تقبل إلا حديث النبي صلى الله عليه و سلم ولتفشوا العلم ولتجلسوا حتى يعلم من لا يعلم فإن العلم لا يهلك حتى يكون سرا[23]
“lihatlah dan periksalah apa yang Anda peroleh dari hadis Rasullah saw karena sesungguhnya aku takut akan hilangnya ilmu dan perginya (wafatnya) para ulama. Janganlah Anda menerima hadis kecuali yang datang dari Rasulullah saw, sebarkanlah ilmu pengetahuan dan adakan majelis ta’lim sehingga dapat memperoleh ilmu pengetahuan orang yang tidak tahu. Sesungguhnya ilmu pengetahuan itu tidak rusak (hilang) kecuali jika dia menjadi barang rahasia”.
Diantara ulama besar yang membukukan hadits atas perintah Khalifah adalah Abu bakar Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhry, seorang tabi`in yang ahli dalam bidang fiqih dan hadits.[24]
c.       Penulisan Hadits mulai tahun 656 hingga sekarang (fase ketujuh)
Secara umum, menurut penelitian Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya al-Hadits Wa al-Muhaditsun menyebutkan bahwa pada fase ini yakni fase ketujuh dari perkembangan Hadis, faktor politiklah yang memiliki peran yang mendominan bagi para ulama sebagai latar belakang dalam menyusun sebuah kitab dan corak dari kitab tersebut. Menurut beliau, setelah khilafah ‘Abasiyah berhasil diruntuhkan oleh tentara Mongol pada tahun 656 H, kemudian disusul dengan penghancuran kota Baghdad yang dilakukan oleh Hulaku (salah satu pemimpin Mongol) selama 40 hari, rihlah ilmiyah para ulama ke berbagai daerah Islam menjadi terhenti dan terputus. Keadaan seperti ini, pada akhirnya menjadikan riwayah syafahiyah pun ikut terputus. Sehingga, para ulama pada fase ini hanya menekuni dan mengkaji kitab-kitab ulama terdahulu dengan cara mengkumpulkan, meringkas, mensyarahi, mentakhrij hadis-hadisnya dan lain sebagainya, seperti Al Bushairi (840 H) yang menyusun kitab zawa’id, As Sakhawi (902 H) yang menyusun kitab al Maqasid al Hasanah, As Suyuti (911 H) yang menyusun kitab Jam’ul Jawami’ dan lain sebagainya[25].
D.    Al-Israiliyat dalam pandangan Abu Zahwu
Salah satu masalah utama dalam pembahasana teologis tentang hadits adalah masalah israiliyat. Israiliyyat adalah hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang mengandung unsur-unsur dari literatur legendaris dan keagamaan kaum Yahudi. Dr.Dzahaby berkata: Makna Israiliyyat lebih luas dari definisi yang ada, ia menambahkan bahwa Israiliyyat bukan hanya dari sumber Yahudi saja akan tetapi dari Nasrani pun termasuk Israiliyyat.
Israiliyat hampir senantiasa dibahas dengan cara mempertanyakan atau memastikan keandalan dua diantara para perawinya yang paling penting, Ka`b al-Ahbar (w.32 H/ 652 M) dan Wahab bin Munabbih (w. 110 H/ 729 M).[26]
Hal ini pun tidak luput dari pandangan Abu Zahwu. Dalam kitabnya al-Hadits wa al-Muhadditsun beliau memberikan penjelasan seputar israiliyyat:
·      Apa yang telah diriwayatkan oleh sahabat dari Ka`ab al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih serta teman-temanya bukanlah termasuk hadits Nabi, akan tetapi cerita israiliyyat yang mereka ambil dari kitabnya para ahl kitab.[27]
·      Allah telah menjelaskan bahwa ahl kitab telah merubah dan mengganti isi kitabnya sendiri, maka kebenaran yang ada diganti dengan kebathilan. Dari sini ulama sepakat atas beberapa point sebagai landasan dalam pengutipan israiliyyat: 1) membenarkan apa yang sesuai dengan al-Qur`an dan Sunnah, karena keselarasan ini menjadi dalil bahwa keselarasan tidak menerima perubahan dan pergantian. 2) menolak apa yang tidak sesuai (baca: bertentangan) dengan al-Qur`an dan Sunnah, karena pertentangan merupakan dalil atas perbuatan mereka dalam mencampur-adukkan dan melakukan perubahan. 3) hal-hal yang yang tidak dibenarkan maupun disalahkan oleh syara` maka tidak boleh diterima begitu saja. Sebagai mana hadits Nabi mengatakan: 
لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا{ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا }[28]
Adapun hikmah dari larangan untuk menerima begitu saja adalah kehati-hatian terhadap ahl kitab, karena terkadang mereka menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah (baca: kebohongan).
·      Seyogyanya tidak menjadikan hal ini (periwayatan israilliyat) sebagai landasan untuk mencela sahabat Nabi. Karena pada dasarnya mereka telah  mempertimbangkannya terlebih dahulu dengan pertimbangan syara` (bi al-Mizan al-Syar`i).[29]Sebelumnya mereka telah menguasai dasar-dasar syariat dan kaidah-kaidah pokoknya.Selain itu, berita dan cerita (yang diriwayatkan) tidak berhubungan dengan akidah dan hukum-hukum. Dengan demikian, periwayatan israiliyyat tidak bisa dijadikan landasan untuk mencela para perawinya seperti sahabat Ka`ab dan Wahb. Akidah keduanya tidak berbeda dengan para sahabat lainnya, sesuai dengan apa yang dibenarkan oleh syara` dan menolak apa yang ditentang oleh syara`.
·      Ketika israiliyyat diriwayatkan tanpa berdasarkan pertimbangan syara`(bi al-Mizan al-Syar`i), seperti membenarkan ataupun menolak seluruh isinya; perawi tidak menguasai dasar-dasar syari`at dan kaidah-kaidahnya; perawi tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah; riwayatnya berbicara tentang akidah dan hukum-hukum, maka yang demikian ini mengandung implikasi besar dalam perusakan akidah. Dan Allah telah melarang periwayatan yang demikian ini, sebagaimana yang dikatakan hadits Nabi:
كَيْفَ تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ وَكِتَابُكُمْ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ تَقْرَءُونَهُ مَحْضًا لَمْ يُشَبْ وَقَدْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا كِتَابَ اللَّهِ وَغَيَّرُوهُ وَكَتَبُوا بِأَيْدِيهِمْ الْكِتَابَ وَقَالُوا هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنْ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا يَسْأَلُكُمْ عَنْ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ[30]
·      Telah terjadi kebingungan pada sebagian ulama, terkait dengan menyelaraskan hadits-hadits yang melarang bertanya pada ahl kitab dan hadits riwayat Abdullah bin Amr bin Ash yang mengijinkan bertanya pada ahl kitab:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Ada yang menganggap hadits ini shahih dan ada juga yang menganggapnya bathil (tidak shahih). Yang jelas, hadis ini terdapat dalam kitab Sahih Bukhari dengan sanad yang muttasil dan tidak ada ulama satupun yang mempermasalahkannya.[31]
Lanjutnya, menurut Abu Zahwu, tidak ada pertentangan diantara hadits yang melarang bertanya pada ahl kitab dengan hadits yang mengijinkannya. Karena makna yang dimaksud dari “hadditsu” dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ash tersebut adalah menceritakan dari mereka setiap hal yang benar (yang sesuai dengan al-Qur`an dan hadits-hadits shahih). Dan tidak boleh dimaknai dengan menceritakan setiap perkataan yang benar dan salah, karena sebagaimana diketahui secara pasti bahwasanya Nabi adalah ma`shum, terjaga dari perkataan bohong. Dan tidak mungkin Beliau menyuruh dalam kebohongan. Kemudian kata “لاحرج” adalah sebagai penguat bahwasanya bertanya pada ahl kitab itu diperbolehkan dengan beberapa ketentuan (yang telah disebutkan sebelumnya). Hal ini dikuatkan dengan firman Allah:
فَإِنْ كُنْتَ فِي شَكٍّ مِمَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ فَاسْأَلِ الَّذِينَ يَقْرَءُونَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ لَقَدْ جَاءَكَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ[32]
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al Bari mengatakan bahwa dimungkinkan adanya larangan tersebut terjadi sebelum adanya penetapan hukum-hukum islam, kaidah-kaidah keagamaan, dan kekhawatiran timbulnya fitnah. Kemudian ketika sesuatu yang diwaspadai telah hilang maka larangan tersebut tidak berlaku dan diganti dengan perijinan.[33]
·      Dalam beberapa kitab tafsirnya ulama-ulama besar banyak terdapat israiliyyat yang dinisbatkan pada Ka`ab dan Wahab juga selain keduanya. Dan tidak sepatutnya mencela para ulama tersebut karena telah menyebutkan israiliyyat dalam kitab-kitab mereka, karena mereka berpendapat bahwa israiliyyat tersebut diriwayatkan dengan pertimbangan syara`, dan mereka juga telah menyebutkan sanad-sanadnya sampai pada sumbernya (orang yang mengucapkannya).[34]
·      Termasuk hal yang memprihatinkan adalah adanya dugaan oleh para pemikir kontemporer yang mempelajari kitab-kitab karya orang-orang kafir (musuh agama). Dalam kitab-kitab tersebut mereka menemukan adanya “fitnah” yang menjadi syubhat dalam Islam, dan diambil dari israiliyyat yang diriwayatkan oleh Ka`ab dan Wahb. Secara sekilas hal ini menunjukkan bahwa Ka`ab dan Wahab adalah orang Yahudi yang ingin merusak Islam. Mereka juga menyangka bahwa para sahabat, tabi`in dan generasi setelahnya (termasuk ulama kritikus) memberikan penilain begitu baik terhadap Ka`ab dan Wahab serta menta`dil keduanya dengan tanpa memahami intelektualitas keduanya terlebih dahulu.
Pendapat ini ditolak secara keras oleh Muhammad Abu Zahwu. Beliau mengatakan pendapat ini tidak keluar kecuali dari orang bodoh yang dipenuhi dengan kebohongan, atau orang gila yang tidak tahu apa yang dikatakannya.[35] kebanyakan riwayat-riwayat tersebut muncul dari fantasi-fantasi para tukang cerita di kemudian hari yang mengatasnamakan riwayat-riwayat itu sebagai dari Ka`b atau Wahab. Perlu diingat bahwa kebanyakan israiliyat tidak mempengaruhi isalam sama sekali. Bagaimanapun juga, Ka`b dan Wahab harus dipandang sebagai perawi yang dapat dipercaya dan muslim yang baik.[36]
By : Muh. Munib (TH UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA)


[1] Tempat tinggal serta tanggal lahir beliau tidak diketahui secara pasti karena minimnya literatur yang  membahas mengenai beliau. Penulis pun hanya menemukan satu buah karyanya, yaitu kitab al-Hadits wa al-Muhadditsun.
[2]Lihat: www.shehababozahw.com,  diposting tanggal 21 desember 2010.
[3]Arsyif Multaqa Ahl al Hadits 5, Bab Baqiyat Kutub al Mushthalah, Juz I, hlm. 14583, dalam al Maktabah al Saymilah.
[4]G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits di Mesir 1890-1960, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 73-74.
[5]Lihat: www.amlalommah.net, diposting tanggal 29 April 2009
[6]http://www.rowyjambi.blogspot.com, diposting pada tanggal 20 desember 2010
[7]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Beirut: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, tt), hlm. 2.
[8]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 94
[9]Nur al Din ‘Itr, Manhaj al Naqd fi ‘Ulum al Hadits, (Damaskus: Dar al Fikr, 1992), hlm. 36-74
[10]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …, hlm. 8
[11]Imam Ibnu Majah, SunanIbnu Majah,Bab Man Sanna Sunnatan Hasanatan au Sayyiatan, Juz I, hlm. 245 dalam DVD al Maktabah al Syamilah
[12]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…, hlm. 9-11
[13]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 4
[14]Muhammad Mustafa `Azami, Metodologi Kritik Hadis (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 21
[15]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…, hlm. 11
[16]www.rowyjambi.blogspot.com, diposting tanggal 21 desember 2010

[17]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …, hlm. 123
[18]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 73-74; lihat juga: Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…, hlm. 122
[19]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 74
[20]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun…,hlm. 123-234; Lihat juga: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 74-75
[21]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …, hlm.120
[22]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …, hlm. 127-128
[23]Imam Bukhari, Shahih al Bukhari, Bab Kaifa Yuqbadhu al ‘ilm, Juz I. hlm. 175 dalam DVD al Maktabah al Syamilah, lihat juga: Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun …,hlm. 127-128
[24]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 60, Atau lihat: Cecep, Preodesasi Sunnah dalam Pandangan Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007, hlm 44.
[25]www.rowyjambi.blogspot.com, diposting tanggal 21 desember 2010
[26]Lihat: G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 177
[27]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun..., hlm. 185
[28]HR. Bukhori no. 4125
[29]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun...., hlm. 186
[30]HR. Bukhari no. 6815
[31]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun, ... hlm. 188-189
[32]QS. Yunus: 94
[33]Ibnu Hajar, Fath al-Bari bab: ma dzukira `an Bani Israil Juz 6, hlm. 498 dalam DVD al-Maktabah al-Syamilah, atau lihat: Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,...., hlm. 189
[34]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 191
[35]Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun,... hlm. 192
[36]G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadits…, hlm. 201

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak