Mati adalah satu kata yang sangat menakutkan bagi koruptor.
Secara umum para koruptor berani
melakukan kegiatan hina itu karena dipicu oleh nafsu duniawi atau cinta
dunia (hubuddunya). Sangat jarang atau bahkan tidak ada koruptor besar
(katakanlah diatas milyar) melakukannya karena termotivasi oleh
kebutuhan primer dan sekunder.
Mereka melakukannya untuk memenuhi kebutuhan tertiernya, untuk memenuhi gaya hidup hedonis, bermewah-mewahan.
Dus logikanya, mati adalah kata yang
sangat menakutkan bagi para pecinta dunia, sehingga hukuman mati efektif
sekali dijadikan sebagai hukuman yang dapat menimbulkan efek jera bagi
para koruptor, dalam hal ini para pencuri uang rakyat.
Mencuri uang rakyat efeknya sangat
fatal, karena bersifat sistemik, kanker yang menggerus kesehatan suatu
negara dan dapat berujung kepada kematian (cha0s) jika tidak dikendalikan.
Dalam beberapa dekade terakhir, Republik
Rakyat Cina adalah salah satu negara yang pertumbuhan dan
perkembangannya sangat pesat dari sisi militer, politik dan ekonomi.
Tahun 2011, Situs Which Country.co menempatkan RRC di posisi kedua dalam daftar 10 negara yang paling kuat di dunia (Top Ten The Most Powerful Country in The World) dan tahun 2012 Central Intelligence Agency (CIA) Amerika,
menempatkan RRC di posisi ke tiga sebagai negara dengan perekonomian
yang terbaik, berdasarkan nilai gross domestic product (GDP).
Banyak faktor yang menyebabkan maju atau
hebatnya RRC, namun tidak bisa dipungkiri, kesuksesan pemberantasan dan
pencegahan korupsi adalah faktor yang memberikan kontribusi yang
sangat signifikan bagi kemajuan RRC, dan penerapan hukuman mati adalah
salah satu faktor utama penyebab kesuksesan dalam mengatasi permasalahan
korupsi.
Bulan Juli 2013 lalu RRC menghukum mati
mantan menteri kereta api atas tuduhan penyuapan dan penyalahgunaan
wewenang dalam skandal korupsi (Kompas), sedangkan Detik News dalam
situsnya, melansir 10 Koruptor yang dihukum mati (Detik News).
Hukuman Mati Untuk Koruptor, Mengapa Indonesia Takut Menerapkannya?
Wacana hukuman mati bagi koruptor ini sudah ada semenjak tahunan yang lalu, namun hingga kini belum terealisasi. Indonesia terkesan takut menerapkannya.
Tidak terealisasinya wacana ini secara umum disebabkan oleh dua hal.
Pertama, adanya tokoh-tokoh humanisme
yang kebablasan yang memiliki pengaruh dalam kebijaksanaan pemerintah,
menganggap manusia tidak berhak mencabut nyawa manusia apapun alasannya.
Atau adanya tokoh-tokoh lokal dan internasional yang tidak menginginkan
Indonesia maju, dan menjadikan alasan humanisme sebagai topeng.
Kedua, tingkat korupsi yang sudah
mencapai taraf yang sistemik, bahkan telah merasuki lembaga pondasi
negara, lembaga yang sangat penting dalam menjaga kestabilan negara
yaitu Mahkamah Konstitusi. Jika hukuman mati ini diterapkan
dikhawatirkan bisa mengganggu sistem karena banyaknya koruptor-koruptor
yang berada di posisi-posisi penting dalam sistem pemerintahan.
Sudah saatnya mengabaikan kedua penyebab itu.
Dengan penerapan hukuman mati bagi
koruptor ini, besar kemungkinan Indonesia akan maju dan berkembang lebih
cepat, tidak perlu menunggu hingga beberapa generasi melalui cara yang
lembut (dipenjara) dan melalui penerapan kurikulum pendidikan anti
korupsi, yang selama ini sudah terbukti bahwa kedua cara itu tidak
efektif dan efisien.
Terkuaknya korusi yang terjadi di MK
beberapa hari yang lalu, bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat bagi
Indonesia untuk membuat undang-undang mengenai hukuman mati bagi
koruptor, dengan kriteria tertentu, misalnya dari segi nilai korupsi dan
akibatnya bagi sistem pemerintahan.
Jika tidak, Indonesia akan begini-begini aja, relatif jalan di tempat, atau bahkan mengalami kemunduran.
[-Rahmad Agus koto-]
sumber : Kompasiana